Terjebak dalam Satu Sudut Pandang
Melihat seseorang hanya dari satu sudut pandang terkadang bukan hal yang baik. Selain bisa memojokkan orang yang dipandang juga bisa membiasakan diri menutup cara pandang terhadap sisi-sisi lainnya, bisa mengarahkan diri pada suatu keangkuhan karena merasa orang lain berbeda atau tak mampu. Gambaran nyata sering lahir dalam kekehidupan sehari-hari, misal adanya suatu hubungan yang dilandaskan pada satu sudut pandang; karena mereka kaya, karena mereka pintar, karena mereka punya jabatan dan lain-lain. Dan dibawah ini ada sebuah dongeng yang belum tentu kebenarannya tetapi mungkin mengandung salah-satu unsur-unsur (gambaran) dari melihat sesama hanya dari satu sudut pandang yang akhirnya terjebak dalam satu sudut pandang.
Dua orang pegawai (bisa jadi pejabat teras) dari salah satu perusahaan besar mendatangi sebuah showroom A dengan niat untuk melakukan sebuah transaksi. Tempat yang mereka tuju memang tepat, namun sayang keinginan dua orang pegawai tersebut masih dalam sebuah wacana tanpa membawa data-data yang siap untuk diproses, sementara ditempat yang dituju tidak dapat membantu merumuskan wacana para pegawai itu kedalam sebuah data yang benar-benar siap untuk menghadapi proses berikutnya (proses utama), disisi lain transaksi yang diinginkan telah dil dan disepakati bersama.
Terjebak dalam Satu Sudut Pandang!
Karena transaksi diatas itu telah disepakati, akhirnya SDM dari showroom A beserta dua pegawai tersebut mendatangi showroom B guna meminta bantuan untuk merumuskan wacana mereka. Sebagai tetangga, SDM showroom B tentunya menyambut baik kedatangan mereka, dan secara kebetulan kondisi di showroom B tidak terlalu sibuk akhirnya dengan senang hati membantu merumuskan wacana dua pegawai itu (perlu diingat, hanya sekedar membantu).
ketika SDM dari showroom B mulai menangkap keinginan dua pegawai tersebut, lalu merumuskannya kedalam data-data yang siap untuk menuju proses utama, dari dua orang pegawai tersebut kerap-kali memberikan hal-hal yang tidak mendukung jalannya proses perumusan tersebut, mungkin tidak dapat menerima cara yang dilakukan SDM showroom B dengan baik karena yang keluar cuma kata-kata “bukan begitu, maunya seperti ini” yang disertai dengan bentuk ejekan-ejekan kecil serta senyum sinis sering bertandang. Lalu SDM showroom B itu bertanya; “maunya bagaimana?” dan jawab dua pegawai itu; “yang seperti ini, tapi saya gak bisa membuatnya.”
Dengan cukup tersenyum dalam hati saja, SDM showroom B menerima senyum-senyum sinis itu, “jelas-jelas yang sedang dilakukannya persis bahkan 100% merupakan proses untuk membuatkan keinginan mereka” gumamnya. Ketika mau menjelaskannya tiba-tiba mereka pergi begitu saja tanpa terima kasih, padahal prosesnya sudah 75% yang dilakukannya, yang terlontar hanyalah “saya telah ada data-data itu dan saya membuatnya berjam-jam, kalau dibuat ulang bisa makan waktu lama.”
SDM dari showroom B itu bertanya-tanya (dalam hati pula) karena secara kebetulan pas kedatangan mereka diawal pernah menanyakan apakah sudah ada data-data yang siap untuk menuju proses utama, salah satu dari mereka menjawab “belum ada.” Sementara SDM dari showroom A hanya bisa berdiam diri karena memang jujur dan merasa tidak bisa membantu para tamunya sehingga meminta bantuan kw SDM showroom B.
Dalam hitungan jam, akhirnya dua pegawai tersebut datang lagi ke showroom B, lalu SDM showroom B bilang; “langsung aja berikan ke showroom A kan transaksinya disana, ini bukan dalam satu naungan yang sama, tadi itu hanya membantu saja.” Lalu mereka menuju showroom A, dan dalam hitungan kurang dari 5 menit, entah kenapa mereka pulang lagi.
Kurang lebih setengah jam berikunya, dia datang lagi dan langsung menuju showroom A. Nah, berhubung SDM di showroom A itu betul-betul blank tidak memahaminya, ujung-ujungnya tetap saja berkunjung untuk meminta bantuan ke showroom B. Dengan tidak banyak bicara SDM dari showroom B menerima mereka dan memeriksa apakah data-data yang mereka benar-benar siap untuk menuju proses utama. Dan ketika file-file-nya dibuka jreng… jreng… jreng ternyata belum jadi apapun (masih dalam bentuk gambaran mentah). Terpaksalah SDM showroom B itu menjelaskannya dengan seksama dan dimulai lagi proses perumusannya. Proses perumusan kali kedua yang dilakukan SDM showroom B itu berjalan dengan lancar. Yang terlontar dari pegawai itu malah bentuk pertanyaan atas keingin-tahuannya, “bagaimana merumuskan ini? bagaimana membuat itu?” dan dengan senang hari SDM showroom B menjelaskannya tentang apa yang ia ketahui. Akhirnya proses untuk menuju proses utama pun kelar juga, dan berujung dengan kata-kata manis, “terima kasih ya” kata para pegawai itu kepada SDM showroom B. Tentu saja SDM showroom B merasa lega karena dapat membantu mereka, dan terucap juga kata-kata “sama-sama.”
Itulah sekelumit dongeng (bukan dongeng nini anteh ya 😀 tapi dongeng abah) yang menyiratkan bahwa seorang pejabat meremehkan pegawai biasa yang berujung pada sikap malu sendiri (sikap seharusnya, karena terjebak dalam egonya tiada lain terjebak dalam satu sudut pandang), tanpa disadari telah terjebak dalam imajinasi yang membeberkan keangkuhan dalam hidup secara tidak sadar. Mudah-mudahan menjadi cermin bagi kita semua untuk dapat hidup secara sadar dan senantiasa tak terlepas bertanya, siapakah diri kita? Meskipun seorang pejabat, hartawan, ilmuwan dan lain sebagainya harus bisa menempatkan diri dengan seksama, karena berapa pun banyaknya harta seseorang, pintarnya seseorang, atau tingginya posisi jabatan dari pejabat tersebut, belum tentu ada pengaruhnya secara langsung bagi yang lain, seperti contoh dongeng diatas. Wallahu a’lam bishawab.
pengalaman pribadi kah kang??
hehehe. nais posting.
diatas awan, masih ada awan
@andhika, bukan euy, hanya dongeng itu mah.
@andri, sip..
kang kips ternyata juga seorang story teller handal.. 😮 😀
Bukan handal, kebal Wan 😀