Ketika Imajinasi Lahirkan Ketamakan
Mengingat dari goresan yang lalu, bahwa sebuah mimpi adalah visi, dimana mimpi-mimpi itu sendiri merupakan imajinasi-imajinasi yang ada. Patut diakui, jika kita tak memiliki mimpi-mimpi terkadang membuat kita kurang memiliki motivasi untuk meraih sesuatu. Maka jelaslah bahwa suatu mimpi atau angan-angan yang berupa imajinasi pun tetap tidak ada salahnya ada dibenak kita, bahkan mungkin saja dari adanya imajinasi-imajinasi ini bisa benar-benar menjadi motivasi untuk meraih dari apa yang kita kehendaki.
Mengaris-bawahi hal diatas, supaya tidak salah kaprah mengenai mimpi-mimpi itu, maka harus dalam batas kewajaran. Memang rasanya sangat sulit menggambarkan batasan-batasannya seperti apa? tetapi kita bisa melihat kembali kedalam diri kita pribadi. Potensi diri kita itu berada pada titik mana.
Sebuah cerita ringan tentang imajinasi-imajinasi yang berkaitan erat dengan ketamakan. Dalam hal ini saya rasa imajinasi-imajinasi tersebut memang berada diluar batas kewajaran atau pada porsi yang berlebihan.
Suatu ketika Abu Abbas al-Mursy ingin berbelanja kepada orang yang dikenalnya. Dalam benaknya berkata, “siapa tahu ia tidak mau mengambil uang saya karena dia mengenalku.”
Apa yang dialami Abu Abbas juga pernah kita alami. Atau bahkan sering. Jika bukan diri kita mungkin saudara kita. Jika bukan saudara kita mungkin tetangga kita. Jika bukan tetangga kita mungkin orang yang jauh di sana.
Tapi yang jelas setiap orang pernah mengalami apa yang dialami Abu Abbas. Dan itulah yang disebut dengan tamak. Tidak bolehkah seorang itu menjadi tamak? Bukankah itu sifat yang sudah ada pada diri setiap manusia?
Siapa bilang tamak tidak boleh. Jika kita memaknai tarnak dengan pengertian yang simpel yakni berharap maka itu wajar dan sah-sah saja. Karena setiap manusia pasti memiliki harapan. Dan itulah yang membuat manusia optimis dan selalu bertahan. Akan tetapi jika yang disebut dengan tamak adalah mengharap apa-apa yang ada ditangan orang lain maka itulah sumber kehinaan. Tidak sedikit orang yang dihantui oleh ketamakan yang akhirnya menjadi terhina.
Coba perhatikan ungkapan Abu Hasan Al-Warraq ra, “siapa yang merasakan cinta terhadap sesuatu dari dunia, berarti ia telah dibunuh oleh pedang ketamakan.”
Kalau Tamak ditanya siapa bapakmu? Maka sang tamak mengatakan, “Keraguan terhadap takdir.”
Kalau ditanya apa pekerjaanmu wahai tamak? “Pekerjaanku adalah menciptakan kehinaan.” Jika ditanya apa tujuanmu? “Tujuanku adalah menghalangi hamba dengan Allah. Na ‘udzu billah min dzalik.
Tidakkah kita melihat para penghuni terali besi. Tidak sedikit dari mereka adalah orang-orang yang merampas kekayaan rakyat dengan cara korupsi.
Dan tidak tahukah kita bahwa korupsi berawal dari ketamakan terhadap harta yang menggila (asyadd at-thama’).
Kenapa mereka begitu berhasrat terhadap harta atau tamak secara berlebihan. Dalam hal ini Ibn Athaillah berkata, “tak ada yang lebih mendorong kepada tamak melainkan imajinasi (wahm) itu sendiri.”
Sebelum al-Mursy belanja dia pasti berangan-angan uangnya akan utuh. Atau para koruptor sebelum menilep harta rakyat pasti ia berimajinasi sekitar pundi-pundi hartanya terus bertambah.
Oleh karena itu, sebelum menbersihkan hati dari sifat tamak terlebih dahulu membersihkan diri dari al-wahm atau berangan-angan yang berlebihan.
Rezeki adalah titipan Ilahi yang setiap orang sudah memiliki cetakannya. Kenapa mesti mengharapkan sesuatu yang belum tentu menjadi bagian dari milik kita.
Leave a Reply