Harta dan Keangkuhan
Tertulis dalam “Sang Nabi” karya Kahlil Gibran, “Manusia-manusia yang tidak pernah miskin, sedikit kaitannya dengan tingkatan material atau spiritual seseorang, melainkan lebih pada seberapa baik dan seberapa bisa ia menikmati dan mensyukuri hidupnya. Begitu kemampuan menikmati dan mensyukuri terakhir melekat dalam kehidupan seseorang, maka masuklah ia dalam kelompok manusia yang tidak akan pernah miskin.”
Kalau menyimak paragraf diatas mungkin sedikit menghibur, dimana kekayaan tidak melulu dipandang dari segi materi melainkan dari kemampuan menikmati dan mensyukurinya. Tetapi sangat mendasar sekali, bukan karena tidak dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan, pada kenyataannya sangatlah terdapat kesenjangan sosial yang cukup tinggi, yang mana “si miskin materi” kerap kali kesulitan untuk menyeimbangkan diri dengan “si kaya harta.”
Permasalahan finansial saat ini sudah sangat umum. Masalah ini tidak lain ujung-ujungnya menyangkut masalah keberadaan ekonomi seseorang. Yang pada kenyataannya di kehidupan kita, tolak ukur kekayaan terkadang didak jauh berbeda dengan tolak ukur kesuksesan, dimana bisa dilihat dari ‘sudah mampukah membeli mobil’ dan ‘berapa mobilkah yang dipunyai’.
‘Sudah memiliki’ dan ‘belum memiliki’, keduanya berbeda dan berdampak pada stigma yang melekat pada masing-masing individu. Anggapan sederhananya, yang sudah punya mobil tentu lebih kaya dibanding yang tidak punya mobil, yang sudah punya dua biji tentu lebih berduit ketimbang yang baru punya satu.
Dalam konteks kita, saya rasa anggapan ini selalu benar adanya, atau minimal dapat dibenarkan. Naik BMW keluaran terbaru tentu lebih kece ketimbang angkutan umum atau mengendarai sebuah motor, padahal fungsi keduanya sama, tetapi nilai barang tersebut seolah mempengaruhi strata sosial dan ekonomi penumpangnya. Ini menegaskan bahwa mobil selain sebagai alat transportasi, sekaligus juga bisa merambah pada makna lainnya, seperti simbol kesuksesan dan prestise.
Sama halnya ketika pesawat televisi awal mulanya ketika dikenal, fungsinya tak cuma sebagai media hiburan dan informasi, tapi juga mendongkrak gengsi. Orang yang menyedot informasi dan hiburan dari televisi hitam putih seakan sangat berbeda dengan orang menyaksikan dari sebuah televisi berwarna.
Di tengah rasa sungkan untuk menyoal kesenjangan ekonomi dan kecemburuan sosial yang masih tinggi di negeri ini, mobil-mobil kelas premium justru makin banyak wira-wiri. Mobil sebagai alat transportasi, dan mobil sebagai pengangkat citra diri, keduanya selalu berada dalam posisi tawar-menawar.
Masalah tawar-menawar, bukan saja dalam hal seperti diatas, dalam kebersamaan untuk pemecahan suatu permasalahan lain pun terkadang sangat sulit diadakan. Tanggapan yang muncul hanyalah ego yang seantiasa bagi kaum lemah semakin merasa terpojokan. Tapi gambaran tersebut hanyalah berlaku bagi sebagian kaum saja, saya sangat meyakini masih ada orang2 yang perduli terhadap kebaikan dan kemajuan bersama. Amiin.
artikel yang menarik salam kenal