Cermin Khusus
Kecenderungan manusia adalah bersifat egosentris, menganggap diri sempurna dan cenderung mencari kesalahan orang lain. Namun untuk mengetahui bagaimana orang lain memandang diri kita, sulit dilakukan, padahal ini diperlukan untuk mengimbangi kecenderungan egosentris manusia. Bercermin diri adalah prasyarat untuk kita dapat mengoreksi diri, mengontrol setiap tindakan kita agar tidak merugikan pihak lain, sewaktu hidup atau setelah kita mati nanti.
Maurice Nicole pernah membuat ilustrasi sebagai berikut. Alkisah ada seorang pria meninggal. Di akhirat ia bertemu beberapa orang yang dikenalnya, ada yang dia suka, dan ada yang tidak. Namun ada seorang pria yang ia tidak kenali tetapi tidak disukai sama sekali. Semua yang dikatakan orang asing itu membuat ia muak, ekspresi mukanya menyebalkan, kebiasaan dan kemalasannya, semuanya membuat ia tidak tahan berada di dekatnya. Kemudian ia bertanya kepada orang-orang di sekitarnya siapa orang yang menjijikan tersebut. Mereka menjawab bahwa di akhirat ada sebuah cermin khusus. “Orang itu adalah kamu sendiri. Bayangkan kalau kamu harus hidup dengannya yang sebenarnya adalah diri kamu. Mungkin pengalaman inilah yang dirasakan orang lain ketika harus berhadapan dengan kamu. Kalau kamu tidak pernah bercermin diri, mengamati siapa diri kamu dari titik pandang orang lain, kamu akan merasa diri hebat”.
Kalau di akhirat kita disodorkan cermin khusus untuk melihat siapa diri kita yang sebenarnya, tidak ada kesempatan lagi untuk kita mengoreksi diri, karena kita akan dihisab sesuai dengan “rupa” kita yang tampak dalam cermin tersebut. Kalau seseorang tampak seperti serigala, maka ia akan diminta pertanggungjawabannya karena perilakunya yang seperti serigala. Bukan itu saja, ia akan dikenang oleh rekan-rekannya sewaktu hidup sebagai manusia berperangai serigala, seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia yang menjadi serigala bagi yang iainnya).
Apabila di masa hidup ini kita diberi kesempatan mendapatkan cermin khusus, alangkah beruntungnya kita, karena kita masih mempunyai kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum malaikat pencabut nyawa datang. Alfred Nobel sangat beruntung ketika sebuah surat kabar di Swedia membuat kesalahan memberitakan dirinya telah meninggal, yang dilengkapi dengan obituari atau sejarah singkat tentang kehidupannya. Dalam obituari tersebut sebetulnya merupakan pujian kepada Nobel, yaitu bahwa tuan Nobel adalah seorang ahli kimia yang jenius dan menjadi kaya raya karena keberhasilannya menemukan dinamit. Membaca berita tersebut, Nobel sangat ketakutan bahwa ia akan diingat orang seperti demikian. Karena keinginannya untuk meninggalkan kenangan yang lebih positif, ia menghibahkan kekayaannya untuk mendirikan Nobel Prizes, sebuah lembaga yang memberikan penghargaan kepada mereka yang sukses dalam bidang keilmuan dan kemanusiaan.
Sebetulnya kita juga bisa beruntung seperti Nobel kalau kita mau mengoreksi citra diri sebelum terlambat. Apapun peran yang dijalankan di dunia ini, kita semua dapat meninggalkan kenangan yang manis kepada siapapun yang mengenal kita. Masalahnya, kehidupan dunia bisa begitu menyibukkan dan melenakan, sehingga alih-alih untuk melakukan introspeksi diri, ada orang yang menyodorkan cermin khusus kehadapan kita saja, enggan kita melihatnya. Bahkan apabila ada seorang kawan sejati yang menyodorkan cermin untuk menunjukan “buruk rupa” kita (berupa kritikan dan nasehat), sering kita marah, bahkan cermin pun dibelah, dan kawan sejati pun di anggap musuh. Padahal kawan sejati seperti itu adalah anugerah yang jarang diperoleh, karena yang banyak adalah kawan yang hanya mengatakan apa yang kita senang mendengarnya.
Dalam hiruk pikuk dunia yang penuh dengan peesaingan harta, dan kekuasaan, pengaruh, kedudukan, dan kebanggan diri, bisa begitu pentingnya, sehingga kita lupa apa makna hidup ini. Sampai suatu saat nanti, kita semua pasti menyadari bahwa apa yang kita perjuangkan di dunia ini ternyata hanyalah “pepesan kosong” belaka yang berisi sebuah ilusi yang rnenyesatkan. Saya yakin, tak seorang pun yang sedang sekarat menghadapi kematian akan berpikir, “coba saya bekerja lebih keras lagi”, atau “coba saya membeli saham yang harganya sekarang sedang melangit”. Kata orang bijak, ketika seseorang meninggal dunia, ia akan terbangun dari tidur dan rnenyadari behwa kehidupan di dunia ternyata adalah sebuah mimpi belaka, dan ia akan mengarungi kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan abadi di akhirat.
Memang berat sekali rasanya kalau ada orang yang menyodorkan sebuah cermin dan melihat rupa diri yang buruk yang banyak bopengnya. Apalagi kalau kita terbiasa memuji diri sebagai terhebat, terbaik, terkaya, terpintar, dan segala macam “ter” lainnya. Kalau Alfred Nobel merasa terganggu kalau diingat orang sebagai orang yang jenius, ahli kimia, dan orang kaya, masak sih kita tidak terganggu kalau orang mencap kita sebagai koruptor, tukang suap, penerima suap, tukang bohong, tukang fitnah, tukang lobi sana sini, atau penerima hibah yang tak pantas.
Nah, kalau kita ingin rnernbuat hidup kita lebih bermakna, coba pikirkan apa yang ingin kita tinggalkan di dunia ini, kenangan apa yang kita inginkan suapaya orang lain mengingat akan diri kita kelak setelah kita tidak ada. setelah itu introspeksi, apakah perilaku kita sudah sesuai dengan harapan tersebut, dan mulailah koreksi diri. Kalau ini berhasil, maka di dunia ini dikenang sebagai orang baik, dan di akhirat nanti kita akan bertemu seorang yang begitu manis, baik hati, yang siapapun yang berada di dekatnya merasa nyaman dan damai, dan ternyata orang itu adalah diri kita sendiri!
Leave a Reply