Bertanyalah, siapa diri kita?
Perbedaan yang selalu ada, bukan berarti melemahkan kita untuk bisa maju bersaing dengan orang lain. Dalam hal ini hanyalah untuk menunjang terhadap diri sendiri pula, dimana diri sendiri tidak akan lupa diri serta dapat mengukur posisi keberadaan diri sendiri, apakah diri kita itu sebagai teman, sebagai saudara atau kerabat, tamukah dan lain sebagainya, tentunya memiliki porsi keberadaan yang berbeda-beda yang pada akhirnya dapat saling memberikan makna dan hikmah dari apa yang ada dari setiap masing-masing yang berinteraksi.
Mengabaikan siapa diri kita yang hakiki, dan mencoba melebur dalam kepribadian orang lain, maka akan menghancurkan karakter asli kita sendiri. Kita menjadi tidak kenal siapa diri kita, apa yang seharusnya menjadi pegangan sehingga mudah diombang-ambingkan arus dari luar.
Setiap manusia mempunyai bakat, potensi dan kelebihan masing-masing. Tidak ada manusia yang sama di dunia ini, bahkan saudara kembar pun ada perbedaannya. Tuhan menciptakan perbedaan sifat, karakter, bahasa dan bangsa tentu saja ada maksudnya. Perbedaan itu untuk membuat manusia saling belajar, saling mengenal dan menerima perbedaan itu agar dapat saling memberi manfaat.
Dalam dunia yang serba imitasi ini, kadang kita iri dengan kelebihan orang lain, lalu ingin meniru atau menjadi seperti orang itu. Biasanya kita menginginkan menjadi tokoh yang kita kagumi. Kita akan mencoba meniru cara berpakaiannya, dandanan rambutnya, cara berjalannya bahkan tingkah lakunya secara keseluruhan.
Ataupun terkadang hanya sebatas ingin memanfaatkan orang lain tanpa memperhitungkan kerugian bagi orang lain meskipun sifatnya kecil. Sepatutnya kita semua saling bisa mengoreksi diri dalam bergaul. Kita mau apa bergaul dengan mereka? mau apa yang diberikan kita kepada mereka? Nah, disitulah terkandung makna yang sangat besar dari sebuah perbedaan. Sangatlah picik seandainya dalam sebuah pergaulan tersirat kalimat “peduli amat, siapa lo siapa gw” meskipun dalam hati, bagaimanapun akan terlihat dari prilaku masing-masing pihak yang berinteraksi.
Dalam dunia pergaulan pun menjadi ukuran, siapa diri kita dan di kalangan mana kita berada. Untuk masuk ke golongan socialite di kalangan para selebriti, pejabat atau golongan tertentu, penampilannya harus memenuhi standar tertentu pula.
Perbedaan ada, untuk kita sadari sepenuhnya. Adapatasi hanyalah untuk saling menunjang semua prilaku yang tidak saling merugikan. Misalnya, kita diajak sama temen yang bekerja disuatu perusahaan yang berbeda. Mereka mengadakan pertemuan dengan memengenakan pakaian tertentu. Sementara kita tidak memilikinya, apakah kita harus tersiksa dengan mencari atau membuat pakaian tersebut yang hanya untuk dipakai satu kali saja itu. Setelah itu, bagaimana kalau yang lain bertanya mengenai pekerjaan yang berhubungan dengan acara yang di adakan orang2 tersebut, pastinya kelabakan tuh. Maka dari itu, yang yang diperlukan hanyalah adaptasi, mungkin cukup dengan mengenakan pakaian yang sesuai dengan kita dengan tidak meninggalkan kesopanannya, nah reaksi yang muncul pastinya berbeda, mereka tentunya berkomunikasi dengan kita mengaikan antara dunia mereka dengan dunia kita.
Janganlah kita menjadi boneka berseragam yang tidak ada bedanya dengan orang lain. Maka dari itu, pertahankanlah kepribadian kita dengan menjadi diri sendiri. Terimalah apa yang telah digariskan Tuhan kepada kita sebagai karunia. Perbedaan itu adalah suatu karunia agar kita dapat mengambil manfaat dari perbedaan itu.
Dalam dunia yang serba imitasi ini, kadang kita iri dengan kelebihan orang lain, lalu ingin meniru atau menjadi seperti orang itu. Biasanya kita menginginkan menjadi tokoh yang kita kagumi. Kita akan mencoba meniru cara berpakaiannya, dandanan rambutnya, cara berjalannya bahkan tingkah lakunya secara keseluruhan.