Tag Archives: Hidup
Berkelit dalam Badai
Berlandaskan tanah pijakan, dengan sekelebat pandangan dua bola mata yang tak dapat menutup begitu saja, terlebih hembusan angin membawa kabar tentang sebagian berita duka yang menghiasi perjalanan riangnya. Ya, itulah hidup namanya. dimana tidak melulu berada pada suasana yang nyaman, manakala tiba saatnya berkawan kesedihan akibat sesuatu yang tidak diharapkan tak dapat dielak lagi.Tidak hanya saya, kamu, dia atau mereka, melainkan semuanya. Hal tersebut mutlak adanya yang berbeda hanyalah kadar dan jenisnya saja.
Berkelit dalam Badai, ini hanya perumpamaan saja dimana tulisan ini sedikit menyinggung masalah tantangan-tantangan hidup dari kaitannya dengan kopleksitas kehidupan di kota besar, dimana banyak hal yang harus diperhitungkan untuk tinggal di kota besar, harus sudah paham betul akan probrlematika sosial kehidupan di kota besar. Kalau tidak, niscaya kata “gagal” akan mudah menghampiri. Tak banyak orang yang sanggup bertahan lama hidup di metropolitan tanpa pekerjaan. Paling tidak kita memerlukan biaya untuk membayar sewa tempat tinggal (yang di kota besar relatif sangat mahal), walaupun masih dapat memaksakan diri makan seadanya.
Belajar Memaknai Sisa
Perjalanan ini telah dimulai, semua yang ada hanyalah sisa. Sebuah makna kata “sisa” terkadang tidak enak didengar, tidak hanya itu saja, tidak sedikit dari kita terkadang mengasumsikan dengan sesuatu yang bernilai negatif atau tidak berguna. Sisa makanan, sisa kotoran dan sisa-sisa lainnya misalnya. Padahal dari sisa tersebut seharusnya kita mengakui mengandung makna yang sangat berarti buat sisa lainnya yakni waktu.
Dari sisa makanan misalnya, memberikan kita sebuah pemikiran harus adanya akan suatu ukuran untuk mengkonsumsi makanan tersebut dikemudian hari. Coba bayangkan diluar sana masih banyak yang membutuhkannya ketimbang dibuang, mungkin bisa menyisihkan kelebihan anggarannya untuk mereka yg membutuhkan. Sementara sisa kotoran atau noda memberikan sebuah pemikiran kepada kita untuk menghindari mendekatkan diri dengan kotoran tersebut kedepannya jika memang tidak menginginkan noda tersebut menempel selamanya, secara tidak langsung menyuruh kita lebih waspada. Benar-benar perlu belajar memaknai sisa “kata sisa”.
Memaknai Kesederhanaan Hidup
Bicara soal kesederhanaan hidup memang tidak semua orang mampu melakukannya, disisi lain mungkin terdapat banyak orang yang memiliki itikad yang kuat untuk itu, namun belum mempunyai kesempatan atas segala sesuatu yang menjadi faktor pendukungnya. Itu mah saya atuh euy heu…
Mengapa dikatakan belum mempunyai kesempatan? Jawabannya sangat sederhana sekali yakni belum dapat menyetarakan hidup yang layak dengan semestinya. Karena yang dialami, hidup dalam keterbatasan yang benar2 tidak enak dan sangat jarang pula orang yang dapat menikmatinya.
Ingin menjadi seorang yang dapat hidup dalam kesederhanaan, itikad dan kebiasaan hidup seperti itulah yang harus dijunjung tinggi, tetapi tentunya tidak meninggalkan usaha untuk meningkatkan kehidupan yang layak pula. Karena adanya perubahan zaman yang terus tanpa henti sangat memungkinkan akan mengalami perubahan dalam kehidupan nyata, sudah dipastikan akan mengalami hal-hal yang baru dimana akan termasuk didalamnya hal-hal yang mungkin tidak diinginkan. Jika hal yang tidak diinginkan tersebut terjadi, apa jadinya? Tentu sangatlah berat, karena solusinya belum tentu akan didapatkan dengan mudah. Intinya, sederhanalah dalam hidup dengan memperhatikan kemungkinan hal-hal yang akan terjadi di sisa waktu yang masih dihadapi.
Hidup dan Mati
Hidup dan Mati! Inilah rasanya hidup, dan entah bagaimana jika kita telah tiada atau mati? Sebagai insan yang berkeinginan menjadi muslim yang baik tentu harus menyadari makna hidup dan mati itu semata untuk diuji Allah. Sebagaimana firman-Nya, bahwa Tuhan menciptakan mati dan hidup untuk menguji manusia, “Siapa-siapa di antara kalian yang baik amalnya!” Ayyukum ahsanu ‘amala (Q.S. 67:2).
Insan yang tidak punya orientasi dalam hidup menilai kehidupan ini hanya untuk hidup, oleh karena itu harus dinikmati sepuas-puasnya selama hayat di kandung badan. Mereka menganggap kematian itu tak lebih ibarat sebuah mesin yang rusak. Bagi Islam, hidup bukanlah sekadar bernafas. Ada segolongan insan yang meskipun jasadnya mati, tetapi Al-Qur’an menamakannya sebagai “orang-orang hidup dan memperoleh rizki” (QS. 3:169). Sebaliknya ada yang nyatanya hidup namun dianggap sebagai “orang yang mati” (QS. 35:22).
Makna hidup dalam perspektif Islam adalah mereka yang bisa menyeimbangkan antara kesenangan duniawinya dan menyiapkan bekal ukhrowinya berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Bukankah do’a yang selalu kita mohon ke hadirat-Nya selalu “Rabbana aatina fi al-dunya hasanah, wa fi al-akhirah hasanah” (Tuhan! Karuniakanlah (kami) di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan … !).
Dimensi Hidup, Saling Ketergantungan
Allahumma a’udzubika minal hammi wal hazani wa ‘audzubika minal ‘ajzi wal kasali wa ‘audzubika minal jubni walbukhli wa a’udzubika min ghilbatid daini waqahrirrijali.
Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari kemurungan dan kesusahan, aku berlindung pada-Mu dari kemalasan dan aku berlindung pada-Mu dari ketakutan dan kekikiran, aku berlindung pada-Mu dari tekanan utang dan paksaan orang lain.
Kondisi kehidupan saat ini sangatlah pelik, tidak mudah jika tidak dapat menyikapinya, dengan berbagai ikhtiar, kesabaran, rasa syukur nikmat dan tentunya doa. Inti dari sepenggal kalimat diatas, kita semua mungkin pernah atau sedang merasakannya mengenai apa yang tersirat dalam paragraf tersebut.
Dimensi hidup yang tak bisa dielakkan oleh seorang anak cucu Adam adalah kodrat berhubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), Hubungan itu pada akhirnya menjadikan manusia menjadi saling bergantung antara satu dan lainnya karena pelbagai keperluan yang mendasari.