Hargai Ilmu Meskipun Tak Datang Dari Sebuah Buku 2
Dalam lingkungan tempat belajar atau sekolah”
Melanjutkan tulisan yang lalu, kalau tulisan yang lalu adanya dalam kehidupan sehari-hari, kali ini menghargai ilmu yang tak datang dari sebuah buku berkaitan dengan lingkungan dunia pendidikan alias tempat kita belajar atau lebih tepatnya lagi sekolah.
Mengingat-ingat cerita lalu, misalnya saja, waktu di sekolah ada seseorang yang rajin banget melakukan aktivitas menyontek dikala ujian. Hmm.. siapa ya? dah pada lupa nama2nya maklum dah lama bgt. Alasan kenapa ia begitu dan begitu terus? kurang begitu tahu, namun menurut asumsi saya pribadi selain termotivasi untuk meraih nilai yang bagus adalah semata-mata karena malas untuk belajar he… Mungkin hanya sebatas menyontek dikala kepepet sah-sah saja sih, itu kan hanya sesekali saja dan itu pun mungkin terjadi karena ada alasan lainnya. Tetapi kalau sudah mendarah daging itu mah bukan karena suatu alasan tertentu, sifat malas dan kecurangan sajalah yang kuat menempel.
Cerita lain muncul ketika bertemu teman lama sewaktu duduk di bangku SMP. Dengan tidak bermaksud meremehkan kepandaiannya, suatu keheranan yang sangat besar ditemukan karena ia bercerita waktu itu sedang belajar pada sebuah SMA ternama. Setelah lama berbincang-bincang, dengan segala kejujuran dan rasa tanpa malunya, dia menjelaskan alasan kenapa ia bisa masuk kesekolah ternama itu, padahal pada dasarnya tidak memiliki kemampuan persyaratan nilai yang memadai.
Lalu, yang ditemui sewaktu kuliah dulu, ada sorang mahasiswa yang sebenarnya punya kemampuan yang cukup, tetapi karena terbiasa dengan cara yang mudah, setiap kali menghadapi ujian ia pun selalu ditemani catatan2 kecil, kayak daftar barang belanjaan yang mau dibeli saja ya, takut lupa tidak kebeli barangkali heu… bisa bertumpuk-tumpuk tuh.
Sementara cerita dari seorang mahasiswa lainnya yaitu aktivitas pendekatan kepada dosen yang bersangkutan setelah selesai ujian atau masa sebelum keluarnya nilai. Seharusnya kalau memang mau melakukan pendekatan kepada dosen tentunya dikala waktu2 pembelajaran sebagai suatu sarana berkonsultasi masalah2 yang belum dipahami, bukan setelah ujian. Secara kasat mata kedua type mahasiswa tersebut memang meraih nilai yang cukup tinggi bahkan bisa dikatakan diatas rata2, dan pada dasarnya beberapa rekannya serta semua dosen mengakuinya, bahwa mereka itu termasuk dalam daftar mahasiswa teladan, maklum mereka semua tidak ngeh kali termasuk para dosennya.
Melihat hasil pengakuan orang disekitarnya mungkin menjadi suatu kebanggaan tersendiri, tetapi kalau dikaji ulang mengenai pelajar dan mahasiswa tersebut sudah jelas sangat tidak menghargai ilmu yang didapatnya. Kenapa begitu? Maksudnya ia tidak belajar atas ilmu yang berkaitan dengan ilmu yang didapat secara tidak langsung yang bukan dari sebuah buku. Yang seharusnya terjadi yaitu melihat, berinteraksi dengan orang2 yang memiliki kecerdasan natural disekitarnya dengan kata lain meniru kegiatan apa yang dilakukan oleh orang2 pintar yang ada yaitu rajin belajar.
Nah, dalam belajar itu sudah sangat jelas, kita semestinya belajar dari mereka dalam berbagai hal untuk meraih prestasi yang diinginkan, tentunya termasuk dari mereka orang2 pandai yang ada disekitar kita, yang bisa kita ambil ilmunya, yang sebenarnya tidak ada dalam sebuah catatan tertulis atau buku. Percuma juga kan, lulus dengan “cum laude” atau menjadi sarjana di usia yang relatif muda kalau dengan cara yang kurang baik, toh bukan suatu jaminan dimasa mendatang akan cerah. Ada lho beberapa faktor di luar kepintaran otak yang belum tentu bisa diajarkan guru atau dosen kita, yang akan sangat berpengaruh di kehidupan sehari-hari atau dunia kerja. Nah, langkah2 bijak dan tepat berprilakukah yang harus dipahami dan dijalani, sehingga menimbulkan suatu efek positif pola kebiasaan hidup bertanggung-jawab dalam dunia sehari-hari dan dunia pekerjaan nantinya.
KIP’s Bandung euy
just is seen, heard, felt and
wanted, trying to learn to become better again.