Category Archives: Refleksi
Senyumku, Hanya dan Karena Cinta
Sejenak dalam diam, tanganku menjadi saksi bisu akan aksi gigi ini yang seakan meronta hendak memperlihatkan diri. Manakala kuperhatikan mata jiwaku menemukan bayangan masa lalu. Seperti barisan kata yang keluar dari lengkingan mereka, Tiga Dara (Paramitha Rusady, Ita Purnamasari, Silvana Herman); “hanya cinta yang akan membawamu kembali dan setia padaku.” Tak kuasa ternyata bibir ini menahannya, teringat pada jamannya torehan asa terdampar di negeri antah-berantah tersisa dalam kenangan. Lihat nih senyumnya Manis kan?
Yuk kita buat dunia tersenyum, gampang kok tersenyum itu, gratis lagi 😀 Menurut saya kehadiran senyum itu karena adanya satu kata saja “cinta“. Hal tersebut terjadi tiada lain hanya dan karena adanya cinta. Dan kebetulan sekali hari ini, tepatnya 14 Februari diperingati sebagai hari valentine , dimana dijadikan sebagian orang sebagai hari kasih sayang, jadi tidak ada salahnya jika kita memuja cinta, tentu saja dalam hal ini bukan untuk meniru atau mengikuti tradisi yang mereka rayakan, namun senantiasa berusaha mewujudkan cinta dan kasih sayang selayaknya yang tidak menyalahi berbagai aturan.
Membatasi dan Membuka Diri
Adakalanya membatasi dan membuka diri itu diperlukan. Membatasi diri memang mempunyai korelasi yang sangat jelas dengan membuka diri, dimana membatasi diri berarti memberikan ruang gerak kepada yang lain sementara membuka diri bersedia menerima gerak-gerik orang lain, bersedia mengalah akan prilaku tertentu yang diperbuat orang lain dimana sebelumnya tidak terbiasa menempel pada kehidupan secara pribadi.
Perlu membatasi diri? Tentu saja, karena kebiasaan atau tabiat kehidupan seseorang itu berbeda-beda. Setiap orang berharap bahwa kehidupannya saat ini dan selanjutnya akan menjadi lebih baik daripada sebelumnya, hal itulah yang mungkin menjadi alasan kita semua membatasi dan membuka diri. Jika tidak demikian atau terjadi kebalikannya, “Buat apa bersusah-payah dilakukan?”
Berkelit dalam Badai
Berlandaskan tanah pijakan, dengan sekelebat pandangan dua bola mata yang tak dapat menutup begitu saja, terlebih hembusan angin membawa kabar tentang sebagian berita duka yang menghiasi perjalanan riangnya. Ya, itulah hidup namanya. dimana tidak melulu berada pada suasana yang nyaman, manakala tiba saatnya berkawan kesedihan akibat sesuatu yang tidak diharapkan tak dapat dielak lagi.Tidak hanya saya, kamu, dia atau mereka, melainkan semuanya. Hal tersebut mutlak adanya yang berbeda hanyalah kadar dan jenisnya saja.
Berkelit dalam Badai, ini hanya perumpamaan saja dimana tulisan ini sedikit menyinggung masalah tantangan-tantangan hidup dari kaitannya dengan kopleksitas kehidupan di kota besar, dimana banyak hal yang harus diperhitungkan untuk tinggal di kota besar, harus sudah paham betul akan probrlematika sosial kehidupan di kota besar. Kalau tidak, niscaya kata “gagal” akan mudah menghampiri. Tak banyak orang yang sanggup bertahan lama hidup di metropolitan tanpa pekerjaan. Paling tidak kita memerlukan biaya untuk membayar sewa tempat tinggal (yang di kota besar relatif sangat mahal), walaupun masih dapat memaksakan diri makan seadanya.
Belajar Memaknai Sisa
Perjalanan ini telah dimulai, semua yang ada hanyalah sisa. Sebuah makna kata “sisa” terkadang tidak enak didengar, tidak hanya itu saja, tidak sedikit dari kita terkadang mengasumsikan dengan sesuatu yang bernilai negatif atau tidak berguna. Sisa makanan, sisa kotoran dan sisa-sisa lainnya misalnya. Padahal dari sisa tersebut seharusnya kita mengakui mengandung makna yang sangat berarti buat sisa lainnya yakni waktu.
Dari sisa makanan misalnya, memberikan kita sebuah pemikiran harus adanya akan suatu ukuran untuk mengkonsumsi makanan tersebut dikemudian hari. Coba bayangkan diluar sana masih banyak yang membutuhkannya ketimbang dibuang, mungkin bisa menyisihkan kelebihan anggarannya untuk mereka yg membutuhkan. Sementara sisa kotoran atau noda memberikan sebuah pemikiran kepada kita untuk menghindari mendekatkan diri dengan kotoran tersebut kedepannya jika memang tidak menginginkan noda tersebut menempel selamanya, secara tidak langsung menyuruh kita lebih waspada. Benar-benar perlu belajar memaknai sisa “kata sisa”.