Berkawan Buku
“Buku adalah teman bicara yang tidak mendahuluimu. Teman bicara yang tidak memanggilmu ketika kamu bekerja. Teman bicara yang tidak memaksamu berdandan ketika menghadapinya. Teman kencan yang tidak menyanjungmu. Penasihat yang tidak mencari-cari kesalahan.”
Seorang trainer terkenal ditanya, “Apa kunci kesuksesan Anda?” Ia menjawab, “Saya selalu belajar pada yang terbaik.” Dilihat secara materi dan popularitasnya, trainer ini memang sangat luar biasa, bisnisnya berkembang pesat, penghasilannya wah, popularitasnya sedang naik, ilmunya luas, semangatnya pun selalu menggelora, tak heran jika ia selalu tampil enerjik.
Ternyata, salah satu kunci suksesnya adalah memiliki semangat belajar yang tinggi. Tidak tanggung-tanggung, ia selalu belajar pada yang terbaik di bidangnya. Tentu tidak mudah. Untuk mempraktikkannya, ia harus mengorbankan banyak hal : waktu, tenaga, biaya, pikiran, dan sebagainya. Ingin terampil bisnis, ia terbang ke luar negeri untuk belajar pada praktisi bisnis kaliber dunia. Konsekuensinya, ia harus merogoh ratusan hingga ribuan dolar Amerika. Demikian pula ketika ingin menjadi pembicara top dan menjadi pakar dalam bidang pengembangan diri, ia akan berusaha belajar pada yang terbaik dengan segala konsekuensinya. Katanya, “Kalau kita belajar pada yang terbaik di dunia, minimal kita bisa jadi yang terbaik di lingkungan sendiri.
Tentu tidak semua orang bisa seperti trainer itu. Ada yang berkeinginan untuk belajar pada yang terbaik, namun kondisi belum memungkinkan. Bagaimana mengakalinya? Ada cara mudah dan terbilang murah: berkawanlah dengan buku. Ya, sesungguhnya kualitas diri seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas teman dekatnya. Jika dikaitkan dengan buku, kualitas seseorang bergantung dari kualitas bacaannya.
Mengapa buku? Sejatinya, buku mewakili kapasitas diri seorang penulis. Buku adalah perwujudan jati diri seseorang yang terangkum dalam bentuk tulisan. Lewat bukulah seorang penulis menuangkan ide-ide terbaiknya, mengkomunikasikan pandangan hidupnya, mengungkapkan gejolak perasaannya, menceritakan kondisi sosial masyarakatnya, serta mengekspresikan seluruh totalitas dirinya. Beda dengan bahasa lisan, bahasa tulisan biasanya selalu mengambil bentuk yang terbaik. Siapa pun orangnya, ketika menulis buku akan memberikan yang terbaik, waktu terbaik, kata-kata terbaik, curahan emosi terbaik, ide terbaik, sehingga apa yang ditulisnya bisa menjadi media komunikasi terbaik dengan para pembacanya.
Itulah sebabnya buku bisa menjadi kawan terbaik. Sangat bijaksana jika kita mau berkawan dengannya. Lewat buku pulalah kita bisa berkawan dengan orang-orang terbaik didunia, bahkan dengan mereka yang berbeda generasi dengan kita. Kita bisa berkomunikasi dengan pemikir besar, mulai dari Aristoteles, Plato, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Imam Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, Goethe, Shakespere, Ali Syari’ati, Viktor Frankl, Hamka, sampai Jalaliddin Rakhmat. Mereka semua akan menampilkan yang terbaik untuk kita, sebagai kawan dekatnya. Bahkan, kita bisa menjalin hubungan yang intens dengan manusia terbaik disepanjang zaman dan disegala bidang kehidupan, yaitu Nabi Muhammad saw. Hanya lewat bukulah kita bisa berinteraksi sepuasnya dengan beliau, kapan saja dan dimana saja.
Sesungguhnya, saat kita membaca buku, saat itu pula kita sedang menemani penulisnya dalam kondisi paling jernih yang dimilikinya. Pada saat itu, akal mereka tengah berada pada level kesiapan, kebeningan, dan kejernihan yang paling tinggi. Dia akan berbicara kepada kita melalui untaian kata yang ditulis dengan kemampuan berpikir dan bertutur terbaik yang dimilikinya.
Rene Deseartes mengatakan, “Membaca buku yang baik itu bagai mengadakan percakapan yang paling cemerlang dari masa lampau dengan para penulis itu. Ini semua bahkan merupakan percakapan berbobot lantaran dalam buku-buku itu mereka menuangkan gagasan-gagasan terbaiknya.”
Karena itu, jika kita belum mampu untuk belajar secara langsung kepada orang-orang top dunia, sebagaimana dilakukan trainer tadi, maka belajarlah kepada buku. Tentu bukan sembarang buku. Kita wajib memilah dan memilih, mana yang baik dan mana yang tidak, mana yang berkualitas mana yang tidak, mana yang bisa membantu kita mencapai impian mana yang tidak, mana yang bisa memanusiakan diri kita dan mana pula yang malah menghancurkan kita.
Karena itu pula, harus ada jalinan “dialog” antara kita dengan buku yang kita baca sebagaimana dialog antara dua orang teman dekat, atau antara guru dengan murid, sehingga kita tidak statis dan menerima begitu saja apa yang dikatakan buku. Khalid Muhammad Khalid mengatakan, “Dalam intelektualitas, tidak ada halal haram. Dalam ilmu pengetahuan, tidak ada yang diperbolehkan dan dilarang. Memang ada buku-buku picisan yang berisi omong kosong dan sampah. Hal seperti itu tak perlu kita hiraukan. Bacalah apa saja, tentang apa saja. Hiduplah dalam cakrawala ilmu pengetahuan dan pemahaman yang seluas-luasnya. Namun ingat, membacalah tanpa harus menerima begitu saja”.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Leave a Reply