Unjuk Rasa Saking Hate Nu Teu Merenah
“Ngunjukeun rasa nu teu merenah atawa kabagjaan ka nu lian, sakapeung asa berat ngedalkeunnana. Rasa bagja atawa kabungah mun dibeja-beja kanu sejen sieun disangka adigung-adiguna. Tapi lain hal na jeung hate nu teu merenah, boh akibat paningkah deungeun-deungeun atawa paripolah sorangan. Cag ah… tong nyarioskeun masalah hate ka nu lain, mendingan nyaritakeun hal nu aya pakuat-kait jeung kaayaan jaman ayeuna, hampura mun seueur nu teu ngartos ku ieu babasan jeung paribasa he…”
Unjuk rasa! Sempat beberapa waktu yang lalu melihat berita di televisi mengenai unjuk rasa, ada yang melemparkan batu dan benda lainnya untuk merusak bangunan dll. Rasanya jadi ingin mengulas juga walaupun hamya sebatas pendapat pribadi yang awam.
Ngomongin soal unjuk rasa yang tidak bisa dipungkiri terjadi secara rutin di setiap adanya suatu perubahan kondisi. Unjuk rasa itu sendiri sebenarnya di zaman para khalifah sudah pernah ada. Suara sahabat atas mengatasi di tengah forum, dalam mengemukakan pendapat mereka masing-masing. Salah satu contoh: lihatlah bagaimana kepada khalifah yang baru dipilih pun seorang anggota masyarakat berjanji akan ‘meluruskan’ sang pemimpin mereka dengan pedang, seraya ia menghunusnya. Ia melaksanakan unjuk rasa seperti itu tanpa disertai rasa takut dan kuatir. Oleh karena saran dan gagasan yang disampaikan memang tulus dan ikhlas. Pendapat yang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam demi perbaikan bersama. Sebuah unjuk rasa yang konstruktif. Adalah Nabi SAW sendiri yang mendidik ummatnya soal kebebasan berpendapat dan bersuara namun dalam batas-batas etika Islam yang diajarkannya.
Persoalan menjadi lain apabila unjuk rasa itu berubah jadi makar. Biasanya unjuk rasa atau demonstrasi yang disertai perusakan, bahkan sampai terjadi pertumpahan darah, bisa terjadi karena didasarkan pada rasa tidak ikhlas, kebencian dan dendam yang menggelora. Boleh jadi pada mulanya unjuk rasa itu didasarkan pada ‘nawaitu’ yang baik, namun ada pihak yang lantas memboncenginya. Seperti telah terjadi sekitar 14 abad lampau.
Di zaman Khalifah ‘Usman Bin ‘Affan r.a. segerombolan orang melakukan unjuk rasa. Pada mulanya mereka itu melancarkan kritik terhadap pemerintahan secara konstruktif. Khalifah ‘Usman yang arif bijaksana senantiasa berprasangka baik terhadap mereka sampai terakhir komplotan ini membunuhnya. Memang ada saran dari pemuka sahabat agar para demonstran itu ditumpas saja. Toh lelaki sepuh yang sangat moderat ini menolak, dengan alasan tak mau jadi penyebab kekerasan.
Sayidina ‘Ali Bin Abi Thalib r.a. setelah melihat gerombolan makar tersebut yang sudah melampaui batas, sempat menugaskan kedua putranya (Hasan dan Husin) untuk melindungi dan mengamankan khalifah dari unjuk rasa yang akhimya kian marak.
Agaknya unjuk rasa yang belakangan diketahui telah dikendalikan oleh kaum munafik ini terasa sudah tidak murni lagi. Mereka memanfaatkan hak kebebasan berpendapat dan bersuara di dalam Islam dengan tindakan yang destruktif. Inilah awal gangguan dalam tubuh ummat.
Sebenarnya secara pribadi melihat masalah tekanan kondisi yang mengbangkitkan kemauan akan unjuk rasa sangatlah perlu dan memang patut dihargai, tetapi tentunya dengan adanya filterisasi, sehingga senantiasa bertabayyun (check and recheck atau mengkaji dan menguji) terlebih dahulu, sehingga tidak adanya hal-hal yang justru banyak merugikan orang lain termasuk pelakunya sendiri.
Tetapi, orang-orang yang hatinya sudah dipenuhi iman tentunya tidak akan mudah goyah sekadar karena ada ancaman. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa pro dan kontra adalah suatu keharusan atau musti terjadi. Masalahnya sebenarnya adalah berada dalam cara yang tepat atau yang kurang tepat. Sementara pro dan kontra dalam kehidupan adalah soal biasa. Tidak ada orang yang bisa lepas dari keberpihakan. Jika tidak berpihak kepada kebenaran, pasti berpihak kepada ketidakbenaran. Jika bukan pendukung kebenaran, pasti menjadi pendukung kebathilan. Oleh karenanya jangan ragu bila menampakkan kebenaran.
memang betul apa yang anda utarakan