Category Archives: Psychology

Ketika Imajinasi Lahirkan Ketamakan

Mengingat dari goresan yang lalu, bahwa sebuah mimpi adalah visi, dimana mimpi-mimpi itu sendiri merupakan imajinasi-imajinasi yang ada. Patut diakui, jika kita tak memiliki mimpi-mimpi terkadang membuat kita kurang memiliki motivasi untuk meraih sesuatu. Maka jelaslah bahwa suatu mimpi atau angan-angan yang berupa imajinasi pun tetap tidak ada salahnya ada dibenak kita, bahkan mungkin saja dari adanya imajinasi-imajinasi ini bisa benar-benar menjadi motivasi untuk meraih dari apa yang kita kehendaki.

Mengaris-bawahi hal diatas, supaya tidak salah kaprah mengenai mimpi-mimpi itu, maka harus dalam batas kewajaran. Memang rasanya sangat sulit menggambarkan batasan-batasannya seperti apa? tetapi kita bisa melihat kembali kedalam diri kita pribadi. Potensi diri kita itu berada pada titik mana.

Sebuah cerita ringan tentang imajinasi-imajinasi yang berkaitan erat dengan ketamakan. Dalam hal ini saya rasa imajinasi-imajinasi tersebut memang berada diluar batas kewajaran atau pada porsi yang berlebihan.

Positioning Seorang Mahasiswa

Pernahakah kita membayangkan kembali cita-cita yang pernah kita ucapkan dikala masih kecil? Ya, suara-suara polos dan cadel diri kita sering berucap; “Aku ingin jadi Doktel, Aku ingin jadi Pilot, Aku ingin jadi Plesiden…” Pertanyaannya: Apakah cita-cita itu kini sedang dalam proses untuk dicapai?

Seiring berjalannya kehidupan, bertumbuhnya diri kita dan semakin bertambahnya ilmu yang kita miliki kini setidaknya kita tahu diri kita yang sebenarnya, walaupun belum seluruhnya kita mengetahuinya. Sudahkah kita mengetahui diri kita yang sesungguhnya?

Dalam buku Piece of Mind disebutkan hanya 4% dari seluruh penduduk dunia yang memiliki tujuan hidup. Wow, artinya dari 100 orang hanya ada sekitar 4 orang yang tahu apa tujuan hidupnya. Ketika mengetahui, dari iseng-iseng menanyakan tujuan hidup dari beberapa orang disekitar. Hasilnya pun luar biasa, hampir setiap orang yang ditanyakan belum mengetahui tujuan dan visi hidupnya, Kebanyakan dari mereka menjawab “setelah ini mungkin kerja, setelah itu nikah, dan sebagainya.”

Human Being Types

Setiap individu dari kita semua tentunya mempunyai jejak hidup yang senantiasa berbeda satu dengan yang lainnya. Secara kodrat hal ini memang telah digariskan oleh Tuhan penguasa alam semesta ini. Tatkala kita ada atau sudah tiada akan diingat oleh orang-orang yang mengenali disekitar kita.

Seiring berjalannya kehidupan, bertumbuhnya diri kita dan semakin bertambahnya ilmu yang kita miliki, kini setidaknya kita tahu diri kita yang sebenarnya, walaupun belum sepenuhnya atau seluruhnya kita mengetahuinya. Sudahkah kita mengetahui diri kita yang sesungguhnya?

Keajaiban Dunia

Keajaiban Dunia Jangan terlalu cepat ‘panas’ atau iri terhadap yang kaya dalam hal materi karena beban dan tanggung jawabnya juga berat serta hambatan untuk mengejar harta rohani pun lebih besar ketimbang dari yang hidup sederhana.

Dari seorang novelis Rusia, di zaman kejayaan komunis di sana, pernah menulis sebuah novel dengan judul Bukan hanya dari roti. Judul itu saja telah mengisyaratkan bahwa manusia hidup di dunia ini bukan melulu mengurusi hal-hal duniawi belaka. Bukan mengisi perut saja. Bukan mengumpulkan harta belaka. Bukan memikirkan roti atau nasi saja setiap harinya. Manusia juga membutuhkan makanan rohani. Sebab manusia bukan hanya terdiri dari tubuh dengan ususnya, tetapi juga sebuah kesadaran, sesuatu yang bersifaf rohani.

Haruskah Kita Mudik

Mudik, merupakan suatu kata yang sangat erat kaitannya dengan kampung halaman alias desa. Dimana desa merupakan asal mula dari peradaban Indonesia. Terbentuknya sebuah desa awalnya sebagai hunian sekelompok manusia yang mengerjakan sawah atau ladangnya setelah adanya pembukaan hutan, Yang konon kabarnya, 5000 tahun yang lampau kepulauan Indonesia pun masih berupa hutan rimba.

Ketika di daratan Asia, nenek moyang kita telah mengenal cara bersawah, maka setiba di Indonesia terpaksalah mereka membabat hutan untuk bertani. Penebangan hutan untuk lahan hunian dan persawahan tentu tak dapat dilakukan oleh perseorangan atau keluarga, tetapi harus secara berkelompok. Harus ada gotong royong. Maka, terbentuklah desa. Wilayah desa bukan hanya daerah persawahan dan tempat tinggal, tetapi juga hutan di sekitarnya, sungai, gunung atau bukit, danau, selama mereka dapat mengendalikan wilayah itu.