Haruskah Kita Mudik
Mudik, merupakan suatu kata yang sangat erat kaitannya dengan kampung halaman alias desa. Dimana desa merupakan asal mula dari peradaban Indonesia. Terbentuknya sebuah desa awalnya sebagai hunian sekelompok manusia yang mengerjakan sawah atau ladangnya setelah adanya pembukaan hutan, Yang konon kabarnya, 5000 tahun yang lampau kepulauan Indonesia pun masih berupa hutan rimba.
Ketika di daratan Asia, nenek moyang kita telah mengenal cara bersawah, maka setiba di Indonesia terpaksalah mereka membabat hutan untuk bertani. Penebangan hutan untuk lahan hunian dan persawahan tentu tak dapat dilakukan oleh perseorangan atau keluarga, tetapi harus secara berkelompok. Harus ada gotong royong. Maka, terbentuklah desa. Wilayah desa bukan hanya daerah persawahan dan tempat tinggal, tetapi juga hutan di sekitarnya, sungai, gunung atau bukit, danau, selama mereka dapat mengendalikan wilayah itu.
Orang Indonesia lama hidup dari pertanian. Bertanam padi itulah hidup mereka. Sepanjang hidup, yang mereka pikirkan adalah bagaimana padi dapat tumbuh subur. Maka, kebudayaan sekitar padi tumbuh amat subur pula.
Karena teknologi, bertani pun menjadi ditinggalkan sebagian orang, maka mereka mencoba menggantungkan peruntungannya baru kepada teknologi yang ada, dengan pergi ke kota.
Yang bisa dicermati dan sangatlah penting dari kehidupan di desa adalah pemikiran sosialnya. Karena hidup dari bersawah, harus menetap berkembang di sekitar desa. Semakin banyak penghuni desa semakin baik karena tenaga untuk bertani semakin banyak dan sawah dapat diperluas. Hidup bersama dalam suatu kelompok besar di suatu tempat memerlukan peraturan yang rinci dan rumit. Maka, lahirlah adat. Dalam adat itu nilai-nilai musyawarah dan mufakat muncul. Ini harus dilakukan sebab keputusan harus dapat diterima oleh seluruh penghuni. Maka, perlu sikap toleran, tenggang rasa. Mereka mengembangkan sikap moderat, menjauhi sikap ekstrem. Sebab, kalau tak ada mufakat, penduduk akan terpecah-belah. Dan kalau terpecah-belah, penghuni akan berkurang, mungkin pindah tempat mencari hutan perawan untuk diolah. Jelas ini tak dikehendaki oleh siapa pun.
Nilai persatuan dan kesatuan, gotong-royong, mufakat, cinta desa, religius, , persamaan hak dan kewajiban, adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi di pedesaan sejak dahulu.
Orang desa tak perlu ditatar Pancasila karena secara tak sadar mereka yang hidup di desa telah menjalankan dengan kejujuran yang lebih terhadap semua asas yang tercantum dalam pandangan hidup bangsa. Yang diragukan Pancasila-nya justru orang kota, yang telah belajar banyak dari tata nilai luar samapai botak, yang kadang tak cocok atau bertentangan dengan nilai-nilai desa. Inilah sebabnya penataran Pancasila justru berlangsung di kota. Tempat belajar Pancasila yang sesungguhnya adalah desa.
Oleh karena itu, khususnya kaum muslim dan umumnya semua penduduk yang berasal dari desa, saat inilah waktu yang tepat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai yang telah disebutkan diatas, dimana mayoritas dari kita berusaha untuk menjalin silaturahmi kembali, mempelajari kembali nilai-nilai yang mungkin telah terhapus, berusaha mengunjungi kembali desa-nya masing-masing walau untuk sesaat saja. Ayo mudik…
Tetapi jangan lupa untuk mengambil keputusan apakah mudik atau tidaknya disaat menghadapi lebaran ini, harus selalu diingat akan makna dan faedahnya, karena mudik saat lebaran pun bukan berarti suatu keharusan mutlak kalau seandainya bisa membahayakan diri.
Jadi kapan mudiknya?
#belum tahu euy….