Tranformasi Amarah
Tranformasi Amarah! Lama tak terdengar kabar, seorang teman lama tiba-tiba menelpon dari seberang. Syukur Ahamdulillah kabarnya menggembirakan, dan juga sebaliknya. Sebait cerita tersampaikan ketika terjadi hujan badai diwaktu lalu. Setiap kali dia telpon tak pernah sekalipun terjawab. Lantas, dia bertanya penyebabnya itu karena marah? Dia menangkap sebuah ketakutan yang luar biasa celotehnya.
Yang mendasari semua itu hanyalah perasaan kalang-kabut dan memang menjadi suatu kebingungan yang luar biasa, bercampur-aduk kemarahan pada kenyataan pelik terkait masalah yang dirasakan sungguh sulit dipecahkan. Kemarahan pada kondisi, kemarahan pada diri sendiri dan juga pada beberapa sudut dari lingkungan terkait yang tidak mau mengerti. Sebatas berbekal cukup sabar dan tawakal namun kenyataannya tetap menipiskan upaya sehat dalam melangkah. Meski lamban, tranformasi amarah dikenali hingga seiring waktu berjalan upaya sadar dalam kesabaran dapat membentuk kembali nalar yang sejalan. Selebihnya tidaklah sampai pada kehilangan arah.
Telah menjadi suatu pembelajaran bahwa tranformasi amarah atau kehidupan emosi merupakan suatu proses dimana terjadi aliran energi psikis dari pola disfungsional yang bersifat negatif menjadi lebih terbuka, bebas, dan mengarah pada pembentukan pola pikir dan perasaan. Jika bukan pada tempat yang tepat dan tidak sesuai dengan perubahan makna yang hendak dan dapat terbangun itu sama sekali tranformasi amarah tersebut tak ada gunanya. Dari kejadian seperti itu, kali ini dapat dimengerti bahwasannya hidup bercampur amarah yang bukan pada kadar dan tempatnya itu sangat tidak baik. Teman menjauh, komunikasi terputus dan akhirnya rasa marah itu sendiri tidak ada arah dan ujung-pangkalnya “ambek kapegung” (doh)
Rasa marah bisa berupa salah satu penghayatan emosi yang umumnya sulit serta kurang mendapat perhatian untuk dikelola dengah baik. Rasa marah sering dianggap sebagai suatu reaksi terhadap situasi lingkungan. Dan, rasa marah yang sebenarnya merupakan akibat dari hal-hal yang justru berasal dari kita sendiri. Oleh karena itu, menjadikan suatu keharusan bahwa sangat penting dapat mengelola perasaaan diri sendiri dengan sadar dan bertanggung-jawab, misalnya dengan mengelola rasa marah yang disfungsional menjadi fungsional dan terintegrasi.
Tranformasi Amarah
Jika penyebab sebenarnya dari sebuah kemarahan memang suatu reaksi, dapat dipertanyakan peristiwa apa yang terjadi diluar diri hingga memicu kemarahan tersebut. Mencermatinya hingga mempunyai bayangan apa yang harus dilakukan sesudahnya. Dan juga, dapat memperkirakan bagaimana cara melepaskan diri dari rasa kemarahan tersebut. Bila menyimak rasa marah itu dengan seksama, memungkinkan memiliki beberapa alternatif untuk mengatasinya. Misalnya menyimpan kemarahan tersebut dalam hati dan kemudian pelan-pelan menekannya hingga kedalam hati yang paling dalam sampai punah. Atau mencoba mengalihkan rasa marah itu pada perasaan sakit hati atau takut, dan menghadapinya dengan rasa berlebih hingga akhirnya menemukan obat yang lebih tepat.
Adanya tranformasi amarah, rasa marah yang terakumulasi dalam sekian lama dan terkumpul dalam tummpukan kemarahan, rasa takut dan sakit hati yang mendalam tentu memunculkan dampak tertentu. Dapat memungkinkan timbulnya kesadaran diri terhadap kemarahan yang selalu mengikuti hingga dituntut memahami perasaan lain (sakit hati dan ketakutan) selain amarah. Biasanya salah satu dari ketiga jenis penghayatan perasaan tersebut relatif dominan, sehingga manifestasi kemarahan yang bisa dilandasi oleh rasa sakit hati atau rasa ketakutan yang berlebih akan menjadi entitas kemarahan yang bisa bersifat disfungsional. Dimana, rasa marah yang disfungsional berupa rasa marah yang tanpa disadari menjadi entitas akumulatif dan membuat diri terbelenggu oleh perasaan negatif yang serta-merta berpengaruh terhadap penurunan harga diri. Dari itulah perlu memandang penting untuk dapat mengelola amarah dengan niat melepaskan diri dari kondisi disfungsional menjadi fungsional. Beragam hal dan upaya yang dapat menunjang proses tranformasi amarah (kehidupan emosi) tersebut, diantaranya:
- Mengubah persepsi/pengamatan awal yang membuat terpaku pada sikap negatif terhadap lingkungan dimana berada dengan cara menerima diri seperti apa adanya dengan jiwa besar. Lebih tepatnya berlatih dapat menempatkan diri sewajarnya dajam lingkungan sosial.
- Membangun citra diri melalui upaya menunjukkan prestasi sosial, sehingga terbangun rasa harga diri. Selebihnya menghayati perubahan sikap lingkungan yang terasa semakin menghargai diri.
- Menyadari penghayatan marah yang muncul sebagai reaksi dari persepsi negatif yang pernah terbangun dan mulai memanfaatkan hasil evaluasi diri dengan sikap positif, meski pelan tapi pasti akan mampu mengungkap kemarahan dengan cara proporsional bila memang masih dirasakan perlu menunjukkan kemarahan.
- Mengembangkan kemampuan menilai diri dan potensi diri sehingga harapan yang terungkap dalam diri terpenuhi sesuai dengan potensi yang dimiliki.
- Mengenali motivasi dan aksi yang terkait dengan hasrat hidup, antara lain dengan meemanfaatkan hasil introspeksi disamping mawas diri terhadap pemanfaatan umpan balik dari lingkungan.
Ternyata begitu pentingnya mengenali tranformasi amarah. Dapat memahami tranformasi amarah tersebut hingga akhirnya dapat mengelola kehidupan emosi kita demi terbangunnya reaksi marah yang lebih fungsional. Wallahu a’lam bishawab.
marah tidak ada gunanya, malahan akan menimbulkan dendam… jalani hidup ini dgn penuh keikhlasan 🙂
Amarah emang kudu dikendalikan… makasih atas pemberian wawasannya gan…
banyak ilmu di sini, hatur nuhun..
Sami-sami, ieu mah mung saukur tamba ngalantur (blush)