Tag Archives: Naratas

Impian Kecil Nara

Impian KecilImpian Kecil Seorang Anak Desa. Meski seorang anak desa, Nara kecil menggenggam sebuah mimpi yang tidak jauh berbeda dari kebanyakan impian anak-anak kecil lainnya. Seorang anak kecil jika ditanya cita-citanya kelak dewasa pasti jawabannya yang terlontar; “aku ingin menjadi dokter, tentara, insinyur dan lain-lain.” Begitupun dengan Nara, ia berharap dewasa kelak dapat menjadi orang yang memiliki pengetahuan yang luas, mengenyam sekolah setinggi mungkin sehingga berguna bagi sesama. Bayangan untuk menjadi seorang dokter selalu menghantui pikirannya. Karena itulah, meski belum cukup umur untuk bersekolah Nara pun memaksa kepada ibunya. Karena kondisi yang belum mendukung, orang-tua Nara tidak mengijinkan sekolah, selain belum cukup umur keadaan orang tuanya pun belum memungkinkan untuk membeli peralatan sekolahnya.

Berhari-hari Nara terus meminta ijin untuk bersekolah, akhirnya orang-tuanya pun mengabulkannya. Pagi itu, Nara bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Dengan berbekal sebuah tas sekolah bekas saudaranya, yang sudah kumel dan lusuh. Sebelum berangkat sekolah, sudah tersedia sarapan yang telah disediakan ibunya. Menu yang sangat sederhana sekali yakni hanya sepiring nasi goreng yang hanya dibumbui garam, cabe rawit, bawang merah dan sedikit kecap tanpa penyedap rasa. Tetapi menu itu dapat dikatakan cukup untuk ukuran keberadaan di desa kecil yang masih dikatakan jauh dari kemewahan dan masih berada dalam keterbelakangan pengetahuan yang memadai. Selesai sarapan, Nara langsung pamitan kepada ibunya, sementara ayahnya telah lebih dulu berangkat ke ladang.

Naratas, Bicara pada Pena

Sebuah jejak kecil menapaki alur sempit yang seringkali terasa menghimpit. Sebelum jiwa ini mengajariku, menuntun dan menunjuk kearah rasa penasaran dan keingin-tahuan yang seakan memaksa menelusuri petunjuk hidup yang berliku. Berkata tentang ketulusan cinta, harus bangga pada dirinya, begitu pula kepada orang yang mencintainya. Meski cinta ini laksana benang tipis yang terikat pada dua pasak, tetapi kini telah menjadi sebuah lingkaran keramat yang awalnya adalah akhir dan akhirnya adalah awal, senantiasa mengellilingi setiap makhluk hidup dan perlahan berkelana kemana saja ia berkehendak lantas memeluk siapa saja yang dapat direngkuhnya.

Satu dari sekian saja, ketika diri mengadu kepada tetangga hati, akibat sulit karena duri lalu merintih, saat itulah terberikan sebagian isi hati dan bicara pada pena. Sebelah jiwa besar darinya menuai pujian dan keibaan hati, tetapi sebelahnya teraih sebaliknya, sikap acuh dan semu yang seakan terpaksa terengkuh. Tapi itu bukanlah perihal yang harus dijegal karena cinta ini tak bisa ku jual.