Ketulusan Cinta

Bulan Februari, bulan yang penuh dihiasi dengan kata dan istilah cinta. Tren sekarang di Indonesia sedikit demi sedikit telah terpengaruhi budaya barat. Terlepas dari suka atau tidak sukanya terhadap adanya satu hari yang diagung-agungkan sebagai hari kasih sayang, yakni Valentine yang jatuh pada setiap bulan Februari.

Melanjutkan tema cerita cinta yang telah digoreskan, “Bila Cinta Ternoda“, terdapat sebuah cerita yang berbeda dengan kisah Nano dan Nani, yaitu kisah Maman dan Mimin.

Ceritanya diawali pada saat keduanya masih belajar dibangku kuliah. Saat itu, Maman dan Mimin saling menyukai dan salaing mencintai, bahkan yang terjadi sesungguhnya Mimin mempunyai rasa cinta yang sangat besar terhadap Maman. Keduanya sepakat akan menikah selepas kuliah. Namun apa daya, orang tua Mimin tidak mengizinkan putri mereka menikah dengan Maman. Dan tanpa sepengatahuan Mimin, Orang tua Mimin telah menyiapkan seorang ikhwan yang dipercaya sang ayah untuk mengelola pesantren keluarga untuk dijodohkan dengan Mimin (sebut saja namanya Memen). Tak ayal, Mimin meradang dan enggan menikah dengan lelaki yang hanya dilihatnya melalui selembar foto.

Mimin tidak pernah percaya bahwa lelaki yang tidak mengenalnya sama sekali akan cukup membahagiakannya. Tapi, desakan orang tua membuat Mimin tak mampu menolak untuk menikah dengan lelaki pilihan mereka. Saat itu, dunia seperti runtuh. Cinta yang tak kesampaian dengan Maman harus ditambah dengan pernikahan dengan orang yang belum dikenalnya bahkan bisa dikatakan dibencinya. Mimin sangat membenci Memen, karena tetap mau menikahinya padahal ia dengan tegas telah menyampaikan rasa bencinya kepada Memen. Tapi apa daya, usaha demi usaha telah dilakukan Mimin untuk menghindari pernikahan dengan Memen akhirnya tak membuahkan hasil, dan pernikan dengan Memen pun tak bisa dihindarinya.

Masa pengantin baru dirasakan Mimin sebagai masa yang paling menyiksa. Keduanya tidak pernah bertegur sapa. Meski keduanya tinggal satu rumah, masing-masing seperti memiliki kehidupan sendiri. Jangankan Mimin melayani suami, melihatnya saja Mimin merasakan benci setengah mati terhadap Memen.

Berbulan-bulan Mimin bersikap antipati kepada Memen, sampai suatu hari kesabaran Memen akhirnya meluluhkan sifat Mimin yang begitu membencinya.

Setahun kemudian, Mimin mengandung anak pertama. Meski demikian, Sesekali Mimin masih menyalahkan Memen karena membuatnya mengalami masa kehamilan yang menyulitkan. Bahkan ketika si jabang bayi tak berdosa itu lahir, Mimin tetap kesal dan tak mau menyusui buah hatinya. Kondisi itu berlangsung hampir beberapa bulan hingga bayi yang baru lahir itu praktis diasuh sang nenek.

Disisi lain, tidak seorang pun yang mampu membendung kuasa Allah. Doa seorang yang sabar dan takwa dalam sekejap mampu membalikkan hati manusia. Rasa benci yang dimiliki Mimin terhadap Memen akhirnya pudar. Ketakwaan dan kesabaran Memen serta dukungan dan doa keluarga perlahan mencairkan benci yang telah membatu dalam diri Mimin. Perlahan dengan pasti rasa cinta itu tumbuh seiring berputarnya waktu. Kasih sayang dan naluri keibuan telah menyadarkan Mimin akan makna cinta sebenarnya. Cinta yang berbalut ketakwaan kepada Sang Pencipta ternyata jauh lebih membahagiakan. Kini, Mimin dan Memen tengah menanti kelahiran buah hati yang kedua. Dan kali ini, semua dijalani dengan cinta.

Dari cerita diatas, mengenai sekelumit perjalanan cinta yang tak selamanya berjalan lurus, terdapat gambaran tahapan-tahapan atau fase-fase yang memberikan dinamika dan gejolak untuk menguji ketakwaan manusia. Cinta dan benci adalah putaran masa yang datang silih berganti. Dengan hati yang setia berpegang kepada Allah Swt. Insya Allah akan mendapatkan manfaat dan keselamatan dunia akhirat. Wallahu A’lam Bishawab.