Seks Dan Karya Sastra

Memperhatikan eksplorasi seks dalam dunia sastra. Apakah ini merupakan suatu bentuk kemunduran moral bangsa atau kemajuan moral bangsa? Jika diantara kita sudah berani terbuka mengungkapkan masalah yang selama ini dinggap tabu kepada khalayak ramai. Satu hal dari situasi ini dengan adanya memegang prinsip bahwa ini atau itu adalah sebuah bentuk karya seni (sastra). Jawabannya kita kembalikan lagi kepada setiap individu, tentunya akan berbeda-beda.

Meski dibatasi dengan adanya pembatasan atau peringatan seperti halnya tulisan “khusus bacaan diatas 18 th”, tetapi kenyataannya sangatlah sulit membendung atau memilah apakah orang yang berkeinginan untuk mengkonsumsi itu usianya dibawah atau diatas 18 tahun. Realistis aja budaya dikehidupan sehari-hari bangsa ini seperti apa, kita bisa melihat sanksi atau apalah yang berkaitan dengan hal ini sebagai efek dari orang yang belum berhak mengkonsumsi karya tersebut. Pastinya bisa kita sadari seperti apa.

Seorang penulis dengan keberaniannya untuk mengeksplorasi tema-tema seksualitas dalam karya novel maupun cerpennya mengundang kontroversi. Toh, ia tetap tak panik menanggapinya. Baginya, menyikapi masalah seksualitas haruslah disikapi secara dewasa.

Jenar Mahesa Ayu adalah salah seorang pengarang wanita Indonesia yang dianggap sebagai pendobrak tabu, lantaran keberaniannya mengeksplorasi tema-tema seksual dalam karya-karya novel maupun cerpennya. la juga berada dalam barisan pengarang wanita yang getol memperjuangkan persamaan gender dan feminisme.

Menurut sebuah tulisan salah satu media cetak, tak heran jika berbicara dengannya, akan gampang menangkap kesan jika ia adalah orang cuek yang bisa bicara blak-blakan. Apalagi saat bicara soal hal paling privat, seperti seks misalnya. Selain itu, putri sutradara kenamaan, Syumanjaya dan Tuti Kirana ini juga dikenal sebagai sosok pribadi yang hangat dan ramah.

Pendapatnya soal seksualitas yang disampaikannya dalam sebuah diskusi saat syukuran peluncuran film yang diadopsi dari salah satu novelnya ‘Mereka Bilang Saya Monyet’, “Bahwa klitoris yang menjadi sarana wanita mencapai orgasme berada di bagian luar menjadi pertanda kalau seks sebenarnya merupakan rekreasi.”

Karena itu, menurut Djenar, seks harus divariasikan. Seks harus dipandang sebagai aktifitas yang menyenangkan, bukan sebagai kewajiban. Pandangannya yang sangat terbuka tentang seksualitas, sempat membuat beberapa kritikus sastra menggolongkannya sebagai sastrawan bermahzhab kelamin. Toh demikian, Djenar tak pernah merasa risau dengan hal itu. la tetap nyantai dan tak pernah mengekang pola pikirnya yang ia yakini itu.

Salah satu novelnya yang cukup kontroversial, karena keberaniannya mengeksplorasi kata-kata juga tema yang selama ini ditabukan, diberinya judul Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Di dalam karya ini, banyak sekali ditemukan kata-kata yang selama ini dianggap vulgar dan tabu oleh sebagian besar masyarakat. Padahal, menurut Djenar, editor sudah melakukan editing ketat dan pembuangan kata-kata yang dianggap terlampau berani.

Namun Djenar punya argumen lain soal ini. Menurutnya, semua itu terkait langsung dengan kedewasaan seseorang. “Orang yang usianya sudah dewasa belum tentu punya pikiran dewasa, demikian sebaliknya. Yang muda bisa saja lebih dewasa dalam berpikir. Maka di cover depan novel itu tertulis peringatan; Hanya untuk Pembaca Dewasa,” tuturnya.

Ada dua cerpen karya Djenar yang sempat membuat banyak orang geleng-geleng kepala lantaran keberaniannya mengeksplorasi persoalan seksualitas. Dua cerpen itu diberi judul, Waktu Nayla serta Menyusu Ayah.

Inilah salah satu petikan kalimat yang ada dalam cerpen berjudul Waktu Nayla; Nama saya Nayla. Saya perempuan, tapi saya tidak lebih lemah dari laki-laki. Karena, saya tidak mengisap puting payudara Ibu. Saya mengisap penis Ayah. Dan saya tidak menyedot air susu Ibu. Saya menyedot air mani Ayah.

Hebatnya, ternyata cerpen ini terpilih sebagai pemenang dalam sayembara Cerpen Terbaik Pilihan Kompas. Lebih hebat lagi, sebab ibu dua anak ini berhasil menyisihkan 16 penulis cerpen dengan nama besar, seperti Hamsad Rangkuti (Saya Sedang Tidak Menunggu Tuan!), Seno Gumifa Ajidi (Legenda Wongasu), dan yang lainnya.

Cerpen Djenar yang berjudul Ayah juga tak kalah dahsyatnya dalam mengeksplorasi hal-hal seputar seksualitas. Cerpen ini mengisahkan tokoh utama seorang gadis kecil yang karena suatu hal sangat gemar melakukan oral seks terhadap sahabat ayahnya. Gadis kecil itu begitu ketagihan dengan aktivitasnya ini dan melakukannya dengan ikhlas tanpa tekanan apa pun.

Kritikan terus bergulir ke arahnya karena keberaniannya itu. Namun, Djenar tak pernah panik atau risau berlebihan. la tetap tenang-tenang saja. la bertutur bahwa tugas seorang penulis adalah membuat tema-tema yang sudah mapan menjadi sesuatu yang segar. “Penulis-penulis muda sekarang ini lebih cenderung dekat dengan kondisi masyarakat sekarang. Karena muda rnareka cukup funky, mereka cukup hip hop, tahu cafe, tahu diskotek, tahu sms dan sebagainya. Maka yang muda bisa diterima oleh masyarakat luas khususnya anak-anak yang masih berkisar dari ABG sampai 28-an tahun,” paparnya.

Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa karya sastra itu sebetulnya sudah ada didalam masyarakat. Penulis mengambil satu tema tentunya dari apa yang dia lihat. Tapi seperti kondisi realitas juga, dalam sebuah dalam sebuah karya sastra seseorang bisa melakukan sebuah pembesaran. Jadi, kalau banyak sekali peristiwa-peristiwa tragis sampai berikutnya kita akan menjadi kebal.

Lalu proses kreatif seperti apa yang dilewatinya untuk menghasilkan karya-karyanya itu? “Kadang-kadang kita sebagai manusia, saya suka bingung, kok saya kesepian. Seperti ada yang kurang, padahal dalam hidup saya tidak ada yang kurang, tidak ada lagi yang saya mau. Nah , kadang-kadang pada saat itu proses kreatif keluar. Terus terang saya menulis tidak pernah punya plot. Kalau saya sama sekali tidak tahu, tiba-tiba saya mau menulis lalu menulislah. Dan itulah yang membuat saya senang di dunia tulis-menulis karena saya bisa belajar untuk mengetahui diri saya sendiri ketika tulisan jadi, paparnya.

Dari pengamatannya itu mulai ada kegairahan baru. Dia melihat orang-orang bisa berpikir bahwa sastra adalah sesuatu yang bisa dikonsumsi tanpa berjarak. “Dulu dengar sastra saja sepertinya, aduh ini bakalan puyeng, bakalan pusing. Ayu Utami bisa membalik keadaan itu. Lalu setelah itu Dewi Lestari. Saya pikir luar biasa karena bisa membuat anak-anak muda merasa jika saya belum punya buku Supernova, tidak gaul,” ungkapnya.

Dari cerita diatas, paling tidak kita bisa mengetahui duduk permasalahannya sehingga bisa mengembalikannya lagi kepada kondisi yang seharusnya, lebih lanjut kita bisa menyimpulkan apakah ekplorasi sek dalam dunia sastra itu merupakan suatu kemajuan dalam pemkembangan sastra Indonesia ataukah sebaliknya? sekali lagi jawabannya sudah barang tentu ada pada masing-masing individu. Wallahu a’lamu bish-shawab.

2 Responses to Seks Dan Karya Sastra

  1. teguh says:

    Berxekplorasi sexual melalui kemasan sastra, sebenarnya disini tak ada yang salah atau benar, artinnya tak kata hallal maupun haram. namun yang perlu di perhatikan adalah kaidah-kaidah sosial dan kultur masyarakat. atau kesiapan sosial masyarakat dalam mengadapi hal tersebut. maksudnya masyarakat diberi kebebasan untuk memilih dan memilah makanan/konsumsi yang tepat bagi dirinya keluarganya. hemat saya masyarkat di beri bekal yang cukup untuk memilih dan memilahnya, atau lebih kerenya pembelajaran masyarakat. sehingga masyarakat dewasa memilih konsumsi yang tepat bagi dirinya.

    # Ok… mudah-mudahan kita semua bisa memilih komsumsi yang tepat.

  2. Tito says:

    Ini blognya dari wordpress ya. themenya bagus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *