Money Illusion
Jika saat ini menyimpan uang pada deposito perbankan, perlukah peduli tentang topik ini? 😀
Money Illusion, Ilusi uang.
Cerita kurang lebihnya mungkin seperti ini. Uang Rp 300 juta didepositokan di bank dengan bunga 10% pertahun. Berarti bunga bersihnya 8% karena ada pajak 20% atas bunga.
Setelah lima tahun uang sudah beranak pinak menjadi sekitar Rp 440,8 juta. Jika nominal uang dipakai sebagai ukuran, maka uang bertambah banyak hampir satu setengah kali lipat. Permasalahannya: apakah berarti pula telah beruntung satu setengah kali lipat dari lima tahun sebelumnya?
Mungkin bisa termasuk salah satu yang serta merta menjawab ‘ya’, karena Rp 440,8 juta memang hampir satu setengah kali Rp 300 juta. Seorang Ekonom tidak akan serta merta menjawab ‘ya’. Karena hal ini bisa jadi sedang merugi. Tengoklah dahulu seberapa besar peningkatan harga-harga barang selama lima tahun itu.
Jika tahun ini kita dapat membeli sepiring nasi goreng Rp 5 ribu. tetapi lima tahun ke depan harga sepiring nasi goreng yang sama menjadi Rp 10 ribu, maka seorang ekonom akan menjawab hal ini merugi. Jika harga barang-barang lain bergerak hampir sama sebagaimana nasi goreng tadi, berarti selama lima tahun itu harga telah meningkat dua kali lipat.
Berarti walaupun jumlah nominal uang naik satu setengah kali lipat menjadi Rp 440,8 juta, sejatinya nilai riil uang tersebut tinggal Rp 220,4 juta. Lebih rendah dari uang semula yaitu Rp 300 juta. Dalam hal ini berarti merugi. Ini gambaran sederhana ilusi uang. Seseorang mungkin merasa nyaman, berflkir kekayaannya tidak berkurang, bahkan merasa meningkat beberapa lipat, padahal sedang merugi, tanpa disadari. Fenomena ini dialami oleh banyak orang.
Skenario yang kita susun di atas memang terkesan ekstrim: selama lima tahun harga meningkat dua kali lipat, Ini memang untuk memudahkan kita segera menangkap fenomena tipuan nominal uang kekayaan kita. Walaupun begitu, ini mungkin hanya sebagai contoh saja. Dari catatan lama, situasi seperti ini pernah terjadi pada perekonomian Inggris sekitar 1975-1980. Inflasi sangat tinggi di atas 15%, sementara suku bunga simpanan maupun pinjaman sekitar 7% – 8%.
Dalam situasi inflasi tinggi sementara suku bunga bank rendah sebagaimana skenario kita tadi, alih-alih disimpan dalam deposito, akan lebih bijak jika uang Rp300 juta dibelikan rumah (apa iya? maklum kebelet pengen punya rumah nih). Bertahan dengan skenario yang sama, maka setelah lima tahun harga rumah menjadi Rp 600 juta. Harus diingat, dalam skenario kita, harga meningkat dua kali lipat selama lima tahun, sehingga kita anggap kenaikan harga rumah segaris dengan harga barang lain.
Secara nominal uang membengkak dua kali lipat dari Rp 300 juta menjadi Rp 600 juta selama lima tahun, tetapi sebenarnya hanya dalam kondisi impas. Pasalnya, nilai riil uang pada saat itu bukan Rp 600 juta tetapi Rp 300 juta. Walaupun tidak untung, situasi ini lebih balk dibanding menyimpan uang pada deposito, yang dalam contoh di atas nilai riil uang turun menjadi Rp 220,4 juta. Hitung-hitungan kita ini juga belum memasukkan tambahan keuntungan dari nilai sewa rumah selama lima tahun.
Kini kita tahu kenapa sering kita dengar orang mengatakan: salah satu keunggulan investasi di sektor properti adalah kemampuannya meredam infiasi. Cerita sederhana di atas itulah penjelasannya.
Semoga dari tulisan ini tidak disalahpahami bahwa investasi pada properti pasti lebih untung dibanding deposito. Bukan demikian, Dengan menggunakan kerangka pikir ilusi uang, tentu akan lebih bijak menentukan pada jenis investasi apa uang harus diparkir.
Pemahaman fenomena ilusi uang juga membantu kita menjelaskan kenapa makin hari uang gaji kita makin tidak cukup untuk kebutuhan sebulan. Tiga tahun lalu kita masih bisa menyisihkan sebagian untuk cadangan. Sekarang, untuk bisa tidak tombok saja perlu perjuangan ekstra.
Bagi yang telah terlanjur menganggap istri makin boros, ada baiknya berpikir ulang, Hati-hati. Boleh jadi terkena ilusi uang: merasa penghasilan tidak mengalami penurunan, padahal sebenarnya turun dari segi kemampuan daya belinya. Wallahu a’lamu bish-shawab.