Syukur Nikmat dalam Sebuah Konsep
Berjejalnya berbagai pikiran didalam otak terkadang menuntun kita kearah yang tidak seharusnya. Disaat pikiran dipenuhi beragam permasalahan khususnya, mungkin diantara kita pernah mengalami tidak mengingat nikmat apa yang kita dapatkan. Biasanya sikap yang kerap kali melupakan akan nikmat berasal dari kondisi perbedaan yang dominan atau kontras antara satu dengan yang lainnya, misalnya melihat orang lain sukses sedangkan kita sebaliknya atau malah kita berada dalam kondisi keterpurukan, orang lain pintar menguasai materi pelajaran di sekolah sementara kita sebaliknya, hal tersebut yang kadang menghilangkan nikmat yang diterima seolah-olah tidak ada.
Perlunya syukur nikmat! Jika saja kita menyadarinya dengan sangat bijak, mungkin kita bisa mengakuinya kembali bahwasannya masih ada nikmat-nikmat yang lainnya pada diri kita meski itu berbeda sifat dan bentuknya dengan nikmat yang diterima orang lain. Seperti halnya, Imam Al Ghazali memberi pengertian yang sederhana mengenai nikmat, yakni sesuatu yang membuat hidup kita enak. Nah, pastilah diantara kita semua tahu dan penah merasakan sesuatu yang enak tersebut, itulah sebuah nikmat.
Secara garis besar, nikmat dikelompokkan menjadi dua, yakni;
Pertama, nikmat yang berupa hasil, nikmat. yang tinggal dipakai, nikmat yang tinggal dinikmati. Ini misalnya anggota tubuh, sumber daya alam, fasilitas alam yang mendukung kehidupan kita dan lain-lain. Adanya sinar matahari, lautan, siang dan malam adalah nikmat Tuhan yang sudah ada begitu kita lahir. Ini disebut nikmat, karena seandainya ini semua tidak ada, maka pasti kenikmatan hidup kita terancam.
Kedua, nikmat yang berupa alat untuk mendapatkan hasil. Ini misalnya bakat, kelebihan, atau kecerdasan yang kita miliki dan berbagai sumber daya yang bisa kita gunakan seperti jaringan informasi, orang yang kita kenal, dan berbagi sumber kapital lainnya.
Jadi, nikmat itu ada yang bisa disebut nikmat bawaan dari lahir dan ada yang bisa disebut nikmat pemberdayaan sebagai hasil usaha.
Nikmat bawaan artinya nikmat yang membuat kita bisa hidup. Nikmat seperti ini diberikan kepada seluruh makhluk secara taken for granted. Sedangkan nikmat pemberdayaan itu adalah prestasi yang kita dapatkan dari usaha yang kita lakukan. Pendeknya, nikmat ini adalah berbagai macam nikmat yang dapat membuat hidup kita menjadi “lebih hidup”.
Nikmat seperti ini diberikan kepada semua orang yang berusaha. Tetapi di sana diterapkan hukum yang disebut “derajat hasil” berdasarkan kualitas usaha. Intinya, nikmat Tuhan itu secara kuantitas bisa dihitung.
Ada satu logika hidup yang kerap kita gunakan secara terbalik dari yang semestinya. Mungkin bisa disebut: penyimpangan (deviasi) atau ketidak-cocokan. Logika hidup yang dimaksud itu adalah misalnya kita berkesimpulan bahwa syarat untuk menjadi orang yang bersyukur adalah mendapatkan nikmat dulu. Ada nikmat ada syukur. Jika Tuhan memberikan nikmat yang banyak kepada kita (prestasi dan keberbasilan), maka kesyukuran kita juga semakin bertambah.
Itu kira-kira kesimpulan yang muncul dari benak sebagian besar dari kita. Tentu saja kesimpulan demikian sangat jarang kita ucapkan lewat mulut. Kesimpulan tentang syukur nikmat kerap kali hanya dalam batin kita.
Kalau kita pelajari ajaran agama (Islam), maka Al-quran menggariskan bahwa kalau seseorang itu bersyukur, maka nikmat hidupnya akan bertambah banyak. Jadi, kalau kita mendahulukan nikmat sebagai syarat bersyukur, Tuhan mendahulukan syarat bersyukur untuk mendapatkan nikmat. Terbalik, bukan?
yupp buener bangedh………..