Tag Archives: Semangat
Dibatas Senja, Burning Spirit Alive!
Hidup akan selalu seperti ini! Adakalanya dalam kebersamaan, dan sesekali yang terkait bersandingan meski tanpa berpegangan tangan. Dimana yang satu senantiasa menengok dan menatap yang lainnya ketika tak ada yang lain pula disekitarnya, dan begitu juga sebaliknya. Diiringi sang waktu bergulir begitu cepatnya yang tanpa terasa, diantara satu dan lainnya itu kerapkali terbius tumpukkan nikmat dan indahnya dunia masing-masing yang silih berganti terdampar dipelupuk mata, merambat melalui sang batas dan masuk kedalam tempat terdalam dari hidup itu sendiri. Burning Spirit Alive!
Hidup memang ibarat Roller Coaster, jalan yang ditempuh senantiasa naik dan turun silih berganti. Ketika posisi diatas tidak sedikit raga yang terbius kegembiaraan atau kesenangan semata. Dan, ketika dibawah kadangkala lengah atau bahkan semangat terlumpuhkan. Senada dengan kondisi yang punya gubuk akhir-akhir ini, rasanya malas banget untuk mengisi gubuk bututnya. Meski sejujurnya bukan karena terhanyut atas sebuah posisi, namun entahlah! Penyebab hilangnya semangat untuk menghiasi gubuk ini masih samar keberadaanya (LOL)
Antara Begadang dan Segarnya Udara Pagi
Sebuah candaan tersiar disalah-satu stasiun radio swasta lokal!
Sang istri: “Atuh cing kang, kira-kira wae jam sakieu masih keneh nyarios, jeung gogorowokan deui”.
Sang suami dan teman-temannya: “Mengbal neng, mengbal!”
Sang istri: “Yeuh akang-akang, ceuk bang haji oge jangan begadang (disambut sebait lagunya bang haji, begadang jangan begadang)”.
Sang suami dan teman-temannya: “Da kumaha atuh neng, karesep ninggali bola teh, karesep akang yeuh”.
Sang istri: “Yeuh akang sadar, bisa begang banyak begadang mah, matakna ceuk bang haji oge (disambut sebait lagunya bang haji, begadang jangan begadang)”.
Sang suami dan teman-temannya: “Biar begang kita, yang penting mah senang neng ah”.
Sang istri: “Boro-boro senang ninggali badan begang mah kang, yang ada ge malah hariwang eneng mah, matakna ceuk bang haji oge (disambut sebait lagunya bang haji, begadang jangan begadang)”.
Sang suami dan teman-temannya: “Tapi suka atuh, ceuk akang mah boleh begadang, asal tim na menang. Udah neng, pamaen bola mah kararasep, kumaha wae akang”.
Sang istri: “Mana? Mana? Kararasep teh pedah pamaen bola mah tara begadang, teu jiga akang-akang”.
Sang suami dan teman-temannya: “Aaah…”
Sang istri: “Eh dibilangin teh, bisi gering ieu mah, lieur moal bisa kerja, lamun teu kerja kumaha jang makan? Maenya rek makan bola oge? Goool.. yes.. yes.. gol.. yes.. gool..”
Sang suami: “Damang neng?”
Kritis ditengah Krisis
Berupaya tetap tampil cerah lahir-batin menandakan bahwa diri tidak mengalami krisis identitas. Hal tersebut menjadi bagian yang sangatlah penting karena krisis identitas jauh lebih berbahaya daripada krisis-krisis lainnya. Dari penampilan memang bisa saja menipu. Secara lahir tampak dari luar terlihat cerah dan bergairah, tetapi mungkin saja dalamnya (batinnya) sedang “pabaliut” alias kusut. Memang bukan hal yang dianjurkan untuk berlaku demikian, walaupun sekali-kali boleh saja digunakan sebagai siasat untuk keperluan tertentu. Karena kalau terus-menerus berpura-pura akan mengalami yang namanya pribadi ganda (split of personality). Yang utama hanyalah bagaimana agar tetap menumbuhkan semangat ditengah situasi kehidupan yang makin berat alias kondisi krisis. Tak ada cara lain kecuali pandanglah krisis dengan kaca-mata positif “think and act positively!“.
Peka dikala krisis! Krisis ibarat berkelit dalam badai, tetapi krisis juga bisa membuat kita memiliki peluang untuk mengasah kepekaan. Situasi sulit menuntut diri semakin cerdik, semakin jeli melihat peluang-peluang sekecil apa pun. Disitulah kepekaan diasah. Disisi lain, krisis itu memberi banyak waktu untuk merenung dan melakukan introspeksi. Saat yang tepat untuk memasang keker guna melihat peluang-peluang mana saja yang bisa dijelajahi. Selebihnya, krisis memberi kesempatan untuk dapat melihat kembali tujuan-tujuan semula (reorientasi) dan menata diri agar menjadi semakin kuat (revitalisasi). Dengan demikian, tidak perlu hanyut dalam hukum “to kill or to be killed“. Senantiasa berupaya untuk bisa survive dalam situasi sesulit apa pun dengan berpegang teguh pada etiket moral.
Rindu Nara Ditepi Telaga
Pagi menjelang terbangun sudah dari peraduan. Meski belum waktunya membuka jendela yang terselip dalam ruang kamar, begitu pula belum saatnya menyingkap gorden yang menghalangi pemandangan, Nara terbangun lalu menuju pintu dan pergi ke arah dapur. Secangkir kopi hangat sengaja diseduhnya sekedar teman menghadang kesenyapan.
Sungguh nikmatnya pagi yang cerah manakala didengarnya burung-burung bernyanyi. Berjalan satu-dua langkah kakinya menuju halaman dan disentuh sejuknya embun pagi seraya berkata “Ya Allah, terima kasih atas nikmat ini yang tiada terkira.” Ceria akan cerahnya pagi, gembira dengan rencananya yang dihadapi, membuat Nara memiliki semangat untuk melintasi sebuah telaga bersama teman-teman dihari itu. Begitu sang raja siang menampakan sorot matanya, bergegaslah menuju tempat berkumpulnya teman-teman yang sudah berjanji untuk pergi bersama. Lantas, beberapa roda berputar mengantarkan mereka ke sebuah telaga dengan melewati perbukitan kecil yang masih hijau nan sejuk menuju sebuah situ yang terletak diantara bukit-bukit yang berdampingan.
Sandal Jepit dan Buah Huni
Segerombolan anak desa, dengan pakaian merah putih itu akhirnya pulang bersama-sama. Kesenangan yang digambarkannya sungguh tiada tandingannya, padahal kebanyakan dari mereka bersekolah hanya dengan memakai sandal jepit dengan memperlihatkan kondisi kaki yang penuh dengan bekas luka, buluk dengan debu jalanan. Tapi itu tak mengakibatkan kehilangan suka-citanya bersekolah.
Dalam perjalanan pulang ada saja yang membuat mereka bisa berbuat iseng. Melihat sebatang pohon huni, dimana buahnya berberntuk bulat kecil terangkai dalam gagangnya seperti buah anggur yang sedang berbuah lebat ditengah ladang. Warnanya yang sudah mulai matang yaitu merah hingga ada yang kehitaman membuat mereka tergiur untuk memetiknya. Buah huni yang berwarna merah itu, terlebih dengan terkenanya sorotan sinar matahari dapat menaklukan hati Nara dan kawan-kawan untuk meraihnya, berebutlah mereka memanjati pohon huni. Buah yang diambil tidaklah banyak, hanya sebatas untuk mengisi kedua saku celana mereka.