Tag Archives: Sabar

Kembali Hati Bersuka-cita, Marhaban Ya Ramadhan

Marhaban Ya Ramadhan

Alhamdulillahirabbil alamin, meski sedikit mepet rasanya tak salah untuk menyapa kerabat semua disini. Dengan senyuman dan hati yang bersih, mengungkap betapa senang hati masih akan bertemu bulan yang penuh rahmat dan maghfirah Allah SWT esok hari. Kerabat muslim semua tentu saja akan melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh. Peluang menghimpun bekal diri untuk kehidupan berikutnya. “Marhaban ya Ramadhan Marhaban fi syahril mubarok wa syahril maghfiroh. Barakallau lana walakum daaiman bijamii khoir. Walawfu minkum”.

Bahagia hati menjelang esok hari! Bertemu lagi dengan bulan ramadhan yang memberikan peluang untuk menempa jiwa dan raga dari berbagai ujian hingga memberikan dampak positif atau keuntungan bagi ruhani dan juga jasmani. Betapa banyaknya manfaat yang dapat diambil dari ibadah puasa. Salah-satunya adalah membuat kita menjadi seorang yang kuat menghadapi cobaan, tegar dalam mengarungi rintangan dan sabar dalam menerima tekanan. Tekanan dalam memperturutkan hawa nafsu yang sebelumnya mungkin merajalela. Insya Allah dengan adanya puasa, Allah menjadikan kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dicintai-Nya.

Pedih dalam Perih

Pedih dalam PerihMasih mengukir mimpi meski tak seindah angan-angan yang hadir dipelupuk mata. Seringkali bertemu resah dan penyesalan atau bahkan keputus-asaan jika menghadapi sebuah realitas yang bersebrangan dengan harapan. Dan sebaliknya, suka-cita tercipta manakala keinginan hati terjumpai, riang dan senang ketika menang dari pengharapan. Itulah hidup, cerminan semua segi tercakup.

Life is suffering!” Seorang filsuf pernah berkata demikian, hal tersebut maksudnya tentu saja bukanlah penderitaan itu selalu hadir dalam setiap detiknya melainkan pada kenyataan dikehidupan ini memang tidak pernah semulus seperti yang diangankan. Selalu ada saja tantangan dan ujian yang membuahkan penderitaan, kemudian membuat diri terbebani. Terlebih jika ujian datang bertubi-tubi yang memungkinkan hadirnya keterpurukan seperti tak punya kesempatan untuk bernafas lebih panjang dengan menghadapi berbagai terpaan. Lalu, terwujudlah seberapa besar tingkat kesabaran yang dimiliki diri dari berbagai kondisi tersebut.

Sabar atau Mengeluh

Celoteh kali ini berkenaan dengan seberapa kuat bertahan dalam kesabaran dan seberapa sering menunjukan diri dengan mengeluh dalam kehidupan secara sadar . Satu nasihat bijak didapatkan dari seorang teman ketika saya menuliskan “Ingin tunjukan kepada dunia tak hanya ada karena masa lalu tapi masih ada harapan bagi yang baru.” Nasihatnya; “sabar ya.” Sungguh menarik kata bijak tersebut sehingga menjadi sumber inspiratif untuk ditorehkan :mrgreen:

Sabar atau MengeluhKata atau kalimat yang mengandung kata sabar biasanya kita temukan disaat menghadapi kondisi atau situasi yang kurang menggembirakan. Tapi itu pun tidaklah mutlak adanya, seperti halnya saya tadi sebenarnya hanya menuliskan sebait lirik lagu yang sedang didengarkan 😀 Memang sih kalau ditelaah lebih dalam lagi seberapa sering frekuensi munculnya sebagai timbal balik dari kondisi yang kurang enak (sebagai contoh; hadirnya musibah sehingga mengakibatkan kehilangan anggota keluarga, materi dan sebagainya) yang tiada lain sebagai rasa simpati antar sesama.

Rasa sabar dan keluhan terkadang sering terjadi pasa saat bersamaan. Lantas adakah perbedaan yang cukup significant antara kesabaran dan keluhan? Dan bagaimanakah kesabaran itu adanya?

Sabar dalam Kesadaran dan Sadar dalam Kesabaran

Sabar dalam Kesadaran dan Sadar dalam KesabaranSebelum mengarah pada inti permasalahan, sedikit menyinggung contoh perjuangan prilaku diri yang menuntut sebuah kesabaran dan kesadaran hati; tentang sebuah kemenangan dibalik kekalahan.

Mengalah untuk sebuah kemenangan! Namanya juga kalah, kok untuk kemenangan? 😀 Kemenangan disini saya siratkan untuk kemenangan-kemenangan lainnya selain dari satu hal yang dibuat menjadi kalah. Dalam menjalin suatu hubungan, ada baiknya kita mengingat bahwa tidak ada dua manusia yang 100 % cocok satu dengan lainnya. Alangkah baiknya kedua belah pihak bersikap terbuka dan saling menerima. Orang dewasa sudah terlambat bila harus mengubah karakter dirinya 180 derajat. Misalnya saja, seorang pemarah barangkali hanya bisa berubah menjadi “tidak begitu pemarah” lagi, tetapi tidak dapat disuruh berubah menjadi orang yang sama-sekali penyabar. Dalam hal ini menuntut kita untuk dapat mengatasi sifat egoisme kita seperti halnya disebutkan pada tulisan sebelumnya untuk memberi sedikit ruang kepada orang lain.