Hari Pahlawan dan Beda Kacamata Untuk Satu Pancasila
10 november adalah tanggal yang biasa kita peringati sebagai hari pahlawan. Sejauh ini kita mengingat dan mengenang perjuangan beberapa pahlawan kita yang dengan gigihnya mereka memperjuangkan kebebasan atau kemerdekaan dari berbagai bentuk penjajahan. Di jaman sekarang ini, masihkah banyakkah dari kita semua yang sanggup memperjuangkan kepentingan umum (kepentingan bersama) dibanding dengan hanya memperjuangkan kepentingan pribadi masing-masing mengingat cara pandang terhadap pancasila saja sudah berbeda-beda? Wallahualam, mudah-mudahan saja masih banyak diantara kita yang menyadari betapa mulianya perjuangan pahlawan-pahlawan kita terdahulu.
Patung Pahlawan atau yang biasa kita kenal dengan Tugu Tani, letaknya di segitiga Menteng, Jakarta Pusat. Patung ini dibuat oleh dua orang bangsa Rusia, yaitu Matvei Manizer dan Otto Manizer, yang diberikan sebagai hadiah kepada Pemerintah Republik Indonesia. Baik Matvei maupun Otto belum pernah ke Indonesia sebelumnya dan mereka mengadakan survey ke beberapa daerah di Indonesia sekedar untuk mencari inspirasi tentang bentuk patung yang memiliki sentuhan Indonesia. Pada sebuah desa di Jawa Barat, keduanya menemukan sebuah dongeng rakyat mengenai seorang ibu yang mengantarkan anak laki-lakinya berangkat ke medan perang. Untuk mendorong keberanian sang anak serta tekad memenangkan perjuangan, maka sang ibu memberikan bekal nasi kepada anaknya. Ide inilah yang kemudian diambil oleh Manizer bersaudara.
Dari salah satu gambaran diatas, masih bisakah kita semua menghargai perjuangan para pahlawan kita, sementara orang asing pun masih memperlihatkan kepeduliannya? Siapkah meneruskan perjuangan-perjuangan demi hari esok yang lebih baik?
Menyadari kenyataannya sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 banyak terjadi rongrongan terhadap NKRI baik dari dalam mau-pun luar negeri yang akan menumbangkan Pancasila.
Alenia pertama ikrar kesetiaan Pancasila itu dibaca dengan mantap oleh Ketua DPR RI Agung Laksono, sebagai bagian dari upara peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2007. Jika dicermati, ada perbedaan yang mencolok antara ikrar kesetiaan Pancasila yang dibacakan Ketua DPR RI itu dengan ikrar peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2004. Yakni, pada alenia pertama ikrar berbunyi :”Menyadari kenyataannya sejak tanggal 30 September 1965…”.
Memang, sejak peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2005, telah diperkenalkan format baru. Selain perubahan naskah ikrar kesetiaan, Presiden RI dan Wapres untuk pertama kalinya tidak lagi berkeliling Monumen Kesaktian Pancasila untuk melihat museum dan diorama tragedi G30S/PKI. Upacara di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya itu sekaligus menghidupkan kembali tradisi yang sempat dihilangkan pada era sebelumnya, yakni Presiden Megawati Soekarnoputri.
Perubahan itu dirancang melalui rapat terbatas di Kantor Presiden pada 23 September 2005. Dalam rapat ditegaskan bahwa dengan dihidupkan kembali upacara itu tidak berarti pemerintah telah mengakui bahwa ada upaya penggulingan pemerintahan oleh PKI pada 30 September 1965.
Sejak berdirinya Orde Baru yang dipimpin Soeharto, dan dilanjutkan BJ Habibie, serta Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tradisi upacara di Lubang Buaya selalu dipimpin presiden. Namun di era Megawati Soekarnoputri, tradisi itu tidak dilaksanakan tanpa penjelasan resmi. Pada 2001, sempat muncul sinyalemen Megawati Soekarnoputri meminta agar “1 Oktober” dijadikan hari peringatan “Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pemberontakan Terhadap Pancasila”.
Di Era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Pendidikan Nasional, Yahya Muhaimin pernah mengusulkan agar Hari Kesaktian Pancasila diubah menjadi Hari Pengkhianatan Bangsa dan Negara (HPBN). Alasannya, karena yang dikhianati G30S/PKI pada 30 September 1965 bukan hanya Pancasila, tapi juga bangsa dan negara Indonesia secara keseluruhan. Perubahan nama diperlukan sebagai upaya pelurusan sejarah.
Disadari ataupun tidak, perbedaan sikap terhadap peringatan Hari Kesaktian Pancasila oleh penguasa berbanding lurus dengan penafsiran penguasa terhadap Pancasila itu sendiri. Penguasa menggunakan kacamata yang berbeda untuk melihat Pancasila. Walhasil, Pancasila menjadi terkesan multitafsir dan penuh dengan mterpretasi.
Di era Orde Lama, terjadi dinamika perdebatan ideologis antara penguasa dengan kelompok Islam. Perdebatan itu dilatar-belakangi kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945.
Hingga era Orde Baru, perdebatan berujung pada penekanan terhadap kelompok Islam. Penguasa menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan kalangan Islam. Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Soekarno.
Pancasila telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Peristiwa 30 September 1965 (PKI) telah membawa perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia.
Di bawah komando Letjen Soeharto, peristiwa “penumpasan terhadap G 30 S/PKI” memberikan legitimasi politik atas “kesaktian Pancasila” tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum peralihan kekuasaan dari Soekarno (Orde Lama) ke Suharto (Orde Baru).
Pada awal kekuasaannya, Soeharto berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional dari presiden pertama. Kekuasaan awal Orde Baru sanggup memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah dan harus ditumpas sampai ke akar-akamya.
Otoritarian politik Orde Baru berakhir setelah Soeharto turun pada Mei 1997. Pada era Reformasi itulah kemudian berkembang pesat keinginan untuk “mengkhayalkan” terbentuknya masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Dari situlah Pancasila mulai diwacanakan secara lebih terbuka. Hasilnya pun cukup mendasar, terjadi berkali-kali amandemen UUD 45. Di sisi lain partai politik juga mendapat kelonggaran untuk memilih asas partainya. Sekali lagi, karena demokrasi jualah, kini wacana yang mempersoalkan Pancasila kembali digelontorkan, yakni upaya untuk menggunakan asas tunggal bagi partai-partai politik.
Lalu bagaimana sebenarnya, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memandang Pancasila? Menarik untuk disimak pendapat Guruh Soekarno Putra ketika mendeklarasikan Gerakan Spirit Pancasila (GSP) pada peringatan lahirnya Pancasila 1 Juni 2006.
“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang mengamalkan nilai Pancasila, namun dengan versinya sendiri,” kata putra Proklamator itu. Senada dengan Guruh, mantan Wakil Presiden Try Soetrisno sempat menyatakan, “Elit politik dan pemimpin bangsa sudah melupakan Pancasila. Hal tersebut tercermin dalam tingkah laku mereka selama ini!”. Intelejen17-07.
Leave a Reply