Keajaiban Dunia
Jangan terlalu cepat ‘panas’ atau iri terhadap yang kaya dalam hal materi karena beban dan tanggung jawabnya juga berat serta hambatan untuk mengejar harta rohani pun lebih besar ketimbang dari yang hidup sederhana.
Dari seorang novelis Rusia, di zaman kejayaan komunis di sana, pernah menulis sebuah novel dengan judul Bukan hanya dari roti. Judul itu saja telah mengisyaratkan bahwa manusia hidup di dunia ini bukan melulu mengurusi hal-hal duniawi belaka. Bukan mengisi perut saja. Bukan mengumpulkan harta belaka. Bukan memikirkan roti atau nasi saja setiap harinya. Manusia juga membutuhkan makanan rohani. Sebab manusia bukan hanya terdiri dari tubuh dengan ususnya, tetapi juga sebuah kesadaran, sesuatu yang bersifaf rohani.
Pembangunan untuk memakmurkan bangsa yang baik, berjuang untuk meratakan kemakmuran. Bahwa hendaknya suatu bangsa dapat makan cukup dan bergizi. Dapat memperoleh gairah yang cukup baik. Dapat memperoleh jaminan keamanan bagi dirinya di luar rumah. Itu semua wajar dan baik. Namun, manusia bukan hanya membutuhkan rasa kenyang, keteduhan, dan keamanan. la juga membutuhkan cinta kasih dari manusia lain. Membutuhkan kedamaian batin. Dan juga membutuhkan kepastian hidup setelah kehidupan badan selesai. Hal-hal ini juga perlu ‘dibangun’.
Dalam sejarah umat manusia tidak jarang kita temukan munculnya kelompok manusia yang justru menolak ‘badan’ dan hanya mempersiapkan diri menyongsong kehidupannya yang kemudian. Mereka hanya makan makanan paling sederhana, dan berpakaian juga yang amat sederhana dan awet. Rumahnya adalah langit dan banyak dari mereka ini yang mengembara. Sebuah kehidupan berat yang tidak setiap orang mampu dan mau menjalaninya.
Sudah sewajarnya bahwa manusia juga harus hidup dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan berupa dunia ini. Manusia harus hidup bagi pemeliharaan jasmaninya, tubuhnya. Namun, memelihara tubuh saja juga tidak cukup, juga harus memelihara rohani dan jiwanya. Untuk itu pembangunan fisik harus disertai dan diimbangi dengan pembangunan rohani. Namun, pembangunan rohani ini lebih banyak bersifat individual. Pemerintah tidak dapat memaksa warganya untuk membangun rohani masing-masing. Yang dapat dilakukan adalah menjamin adanya kelengkapan dan perlindungan terhadap hasrat pemenuhan kebutuhan rohani. Setiap orang harus memenuhi makanan rohaninya secara individu. Kekayaan rohani tak dapat diwariskan. Setiap orang harus mencarinya sendiri. Orang tua yang ‘kaya’ secara rohaniah tidak menjamin anaknya akan ‘sekaya’ dirinya. Tetapi, kalau orang tua kaya harta, maka dapat dipastikan si anak menjadi kaya harta pula.
Di tengah perlombaan orang untuk mencapai ‘sukses’ ekonomi seperti sekarang ini, kiranya hal ini perlu diingatkan. Hendaknya orang jangan terpancing untuk hanya mengejar kekayaan duniawi sampai lupa bahwa dia juga manusia yang memiliki roh. Seperti berbagai artikel di surat kabar dan majalah yang tak pemah sepi memuja mereka yang sukses dan kaya. Para pahlawan kita sekarang ini adalah mereka yang sukses dalam karier, jabatan, dan sekaligus kaya. Lebih membanggakan lagi kalau si sukses itu dulunya orang rniskin yang semiskin-miskinnya. Namun, jarang kita baca tulisan mengenai orang yang tidak sukses dalam jabatan dan harta, tetapi memiliki keunggulan rohani yang jarang dicapai manusia. Pahlawan kita kebanyakan orang bisnis yang menjadi mahakonglomerat. Orang yang mahakaya raya itulah yang dikagumi sekarang ini. Maka, orang sibuk mencari data dan membuat ranking siapa orang kita yang kaya raya sekarang ini.
Mudah saja membuat ranking siapa yang lebih kaya dibandingkan dengan yang lain. Orang tinggal menjumlah kekayaan mereka yang dapat dinilai dengan mata uang. Tetapi, bagaimana orang dapat mengukur ‘harta rohani’ seseorang? Orang yang kaya raya secara rohani tak dapat dilihat oleh manusia lain. Karena itu, mereka ini tidak pemah populer. Dan saya yakin bahwa orang yang telah mencapai tingkat kekayaan ini juga tidak mau di-ekspose, diketahui orang lain. Orang semacam ini tetap saja merasa ‘miskin’ rohaniah. Mereka tetap menganggap dirinya paling rendah dan hina di mata manusia. Inilah keajaiban dunia sekarang ini.
Kembali kepada kebutuhan rohani kita yang harus segera kita penuhi, sejajar dengan pemenuhan kebutuhan akan ‘nasi’. Pengumpulan kekayaan rohani ini tentu bukan dalam arti mengumpulkan harta rohani secara kognitif, tetapi lebih pada sikap dan tingkah laku, perbuatan. Orang tanpa pendidikan pun dapat berkembang menjadi seorang yang kaya secara rohaniah karena sikap dan amalnya yang tak berkesudahan. Orang kaya, berpendidikan, berpangkat, sukses besar dalam hidup ini, tidak menjamin akan demikian pula dalam hal kerohanian. Justru orang ‘sukses’ semacam ini cukup sulit untuk berbuat baik secara rohaniah. Mereka terlalu sibuk, terlalu banyak orang yang membutuhkannya, terlalu banyak yang harus dipikirkannya. Waktu untuk memikirkan rohaninya sendiri sangat kurang. Maka, berbahagialah mereka yang sederhana dalam hal kebendaan, karena akan cukup waktu dan kesempatan untuk memikirkan hal-hal kerohanian. “Orang baik sulit dicari”.
Leave a Reply