Membangun Pemahaman Isra Mi’raj diantara Sains dan Wahyu
Harapan dari Peringatan Isra Mi’raj tahun 2010 tepatnya hari sabtu, 10-07-2010, semoga tidak hanya dijadikan momentum tunduknya akal pikiran kepada keimanan saja, tetapi juga kepada kesadaran akan pentingnya akal pikiran yang jernih dalam menerima pesan-pesan Ilahi sehingga terbangun sikap keberagamaan yang bijak, yakni mengendalikan akal pikiran dengan keimanan agar tidak kering dari nilai-nilai spiritualitas dan mendasari keimanan dengan pijakan rasionalitas logika agar tidak terkotori oleh mitos-mitos tahayul.
Pentingnya pemahaman makna secara utuh dikarenakan masih adanya kalangan yang menilai peristiwa Isra Mi’raj sebagai peristiwa tunduknya akal kepada keimanan belaka. Maka obyektivitas peristiwa itu hanya bisa diterima melalui keyakinan akan kebenaran wahyu. Hal tersebut menunjukan bahwasanya kekuatan akal tidak diberi kebebasan untuk berintervensi didalamnya.
Bagi kalangan tertentu, hal tersebut bukan persoalan rumit mengingat peristiwa ini adalah berita yang datang dari wahyu (al-Isra, 17:1). Namun, terdapat sebagian kalangan lain peristiwa tersebut merupakan sebuah dilema antara doktrin agama dan rasionalitas logika. Melihat kenyataan tersebut, peringatan Isra Mi’raj yang secara rutin dilakukan oleh banyak kalangan muslimin secara langsung mengingatkan pada “konflik” antara sains dan wahyu. Pasalnya, peristiwa bercorak supranatural semacam Isra Mi’raj merupakan persoalan yang sulit untuk dijelaskan secara rasional-empiris.
Jika diteropong dengan paradigma ala abad pertengahan sampai akhir abad ke-13 yang cenderung mistisistis-spiritualis, peristiwa ini tidaklah sulit untuk dipahami dan diterima secara obyektif. Karena perjalanan suci ini melibatkan sosok manusia suci, Muhammad SAW. Namun, pada era Renaisans awal abad ke-14, ketika peradaban umat manusia didominasi oleh paradigma sekulalrisme yang memberikan label pemisah antara kehidupan dengan urusan agama dan akhirat, obyektivitas peristiwa semacam Isra Mi’raj mulai tergoyah oleh pemikiran yang rasionalis. Dimana, pemikiran rasional-positif hanya menerima kebenaran ketika ia dapat dijelaskan secara logis dan dapat dibuktikan secara empiris. Lantas, memasuki abad ke-20 terjadi revolusi paradigma sains modern yang dipelopori oleh saintis ternama, Albert Einstein. Dalam pandangannya, keyakinan akan peristiwa-peristiwa supranatural semacam itu terletak pada ranah yang belum dapat dijustifikasi oleh sains.
Jadi, dalam konteks momentum Isra Mi’raj diharapkan adanya pemahaman yang dapat menjembatani dua paradigma yang bersebrangan, sains modern dan wahyu yang berlanjut terhadap adanya pemahaman tentang kedalaman makna transendensi Isra Mi’raj secara utuh. Sebab jika meneropong Isra Miraj dengan rasionalitas logika tanpa melihat doktrin wahyu, secara tidak langsung akan mereduksi nilai-nilai transenden yang terkandung dibalik momentum supranatural tersebut. Sebaliknya meneropong Isra Mi’raj dengan doktrin wahyu tanpa dasar-dasar rasionalitas logika, momentum supranatural tersebut rawan dihinggapi mitos-mitos tahayul, sedangkan doktrin wahyu harus tetap dijadikan sumber utama yang memberikan pasokan nilai-nilai transenden dibalik peristiwa supranatural tersebut. Dengan demikian, paradigma sains akan membawa umat beragama pada sikap keberagamaan yang cenderung rasional kritis, tanpa harus menyingkirkan nilai-nilai transenden sakral yang menjadi salah-satu fondasi agama (Islam).
tinggal bentar lagi ya
heheheh
berkunjung dengan snyuman…
berkunjung dengan senyuman2…
(LOL) Terima kasih kunjungan dan senyumanya, baru sempat reply nih 😀
hanya manusia yang berakal yang mempunyai agama dan mempercayai hal irasional karena kekuasaan tuhanNYA
tak terasa sudah dekat dengan bulan ramadhan lagi..!