Akal Bernafsu, Nafsu Berakal
Melihat dengan kacamata awam, tentang alam dan kehidupan ini memang rasanya tidak mudah. Seperti sebuah ungkapan, “menjalani hidup adalah menjalani sesuatu yang tidak pasti. Yang pasti adalah kematian (menuju kehidupan abadi)“.
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan (ulah tangan) manusia” (QS, Ar-Ruum 30:41).
Daratan dan lautan itu diciptakan untuk manusia. Maka tak ayal jika kemudian daratan dan lautan yang rusak itu berakibat merusak kehidupan manusia pula.
Jika saja banjir, tanah longsor, kemiskinan, dan lain-lain hampir mendominasi kehidupan disaat ini. Apa karena bumi sudah semakin tua? Atau mungkin kita yang tidak bisa belajar dari kehidupan ini? Bagaimanapun tak dapat disangkal lagi, kerusakan itu adalah hasil kreatifitas manusia, kreatifitas yang lahir dari jiwa dan raga. Bisa jadi bencana-bencana tersebut merupakan investasi dari pendirian fabrik-fabrik, penebangan hutan, pengerukan pasir-pasir yang melampaui batas.
Akal merupakan daya atau kekuatan yang dianugerahkan oleh Allah Swt. kepada manusia sebagai alat berfikir dan alat untuk mempertimbangkan serta memikirkan baik buruknya sesuatu.
Selayaknya, kreasi yang muncul adalah bagaimana industri dan teknologi serta lainnya tadi memiliki asas manfaat dan kemanfaatannya lebih untuk khalayak umum (maslahah ‘ammah ), sehingga pada kenyataannya akan lebih banyak baiknya daripada rusaknya.
Rasanya, sejak saat ini, sangat perlu untuk menyadari bahwa sesungguhnya selain akal yang merupakan potensi yang diberikan Allah Swt. kepada manusia, ada dimensi lainnya, yaitu nafsu. Kedua unsur ini (akal dan nafsu) termasuk dalam alam rohani (non fisik). Oleh karena itu, adanya anggapan bahwa suatu kreatifitas menjadi masuk akal karena ia terbersit oleh ruhani manusia adalah sesuatu yang belum tentu benar. Yang mana, bisa jadi ruhani itu adalah nafsu.
Abu Sa’id Al-Khudriy Ra berkata, aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘ Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran hendaklah ia merubah dengan tangannya, bila ia tidak ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman .”
Bagaimana jika hadits diatas dimaknai : kemampuan diri (kekuatan), minimal semangat dan harapan yang kita miliki sebagai perubah kemungkaran, Ketidak-adilan sosial dan lain-lain. Mengingat kemungkaran, kerusakan dan lain sebagainya tersebut bukanlah akibat alam semata melainkan akibat manusia juga.
Mudah-mudahan, meskipun tidak sedang berupaya merubah kemungkaran, kebijakan yang merugikan, ketidak-adilan, pola hidup yang tidak sehat dan lain-lain, paling tidak, kreatifitas yang akan dimunculkan berasal dari potensi ruhani berupa akal, bukan nafsu. Amiin.
yup satuju…..