Ujian Nasional!
Ujian Nasional! Sekilas mendengar celotehan komedi di televisi bahwa UN seharusnya berganti CS-nya alias cobaan nasional. Tersebut juga bahwa disuatu daerah ada beberapa siswa atau siswi jika harus memilih antara menikah atau UN? Dan, jawabannya tidak sedikit yang memilih menikah. Lalu, terujarlah bahwasannya yang memilih lebih baik menikah itu pertanda mereka lebih percaya kepada pacarnya ketimbang pemerintah. Lumayan lucu (LOL)
Dibalik kelucuan diatas, memang beralasan keterkaitannya antara ujian dan cobaan. Bagaimana tidak, perberitaan diberbagai media lagi gencarnya mengupas tentang UN. Keterkaitannya dengan cobaan tentu saja berlaku bagi para peserta didik yang akan atau sedang menghadapi UN selain memiliki kecemasan atas perjuangannya antara dapat lulus atau tidaknya, saat menghadapi prosesnya pun banyak kendala yang cukup dirasakan ganjil. Keganjilan tersebut terjadi dalam persiapan soal-soal UN yang tidak kelar tercetak sekaligus tersampaikan pada waktunya. Ada juga soal-soal untuk wilayah tertentu yang nyasar ke tempat yang tidak tepat. Meski disadari betul dengan dalih kinerja yang namanya manusia tidak luput dari kesalahan, namun tidak dapat sepenuhnya dimaklumi terkait helatan nasional tersebut sudah berlaku rutin. Hal tersebut rasanya kurang pantas dan patut dibenahi hingga tidak terlurang diwaktu mendatang.
Terlepas dari kontroversi mengenai prosesnya, UN masih dipertanyakan peruntukkannya. Melihat pemberitaan menggambarkan beberapa kasus yang dialami siswa yang tidak dapat mengikuti UN karena telah menikah, atau siswi yang hamil. Kebijakan melarang siswi yang hamil mengikuti UN jelas merupakan diskriminasi bagi peserta didik yang memiliki hak untuk mengikuti pendidikan hingga akhir. Memberikan fasilitas yang sama terhadap siswi bermasalah karena hamil bukan untuk memberikan kesan tidak adanya sanksi efek jera terhadap mereka dan peringatan untuk siswi lainnya. Melainkan hal ini karena melihat sisi kemanusiaan dan hak mereka untuk mendapat pendidikan yang sama. Siswi yang hamil diluar nikah tersebut pastinya telah mendapatkan hukuman yang lebih berat yakni sanksi sosial. Tidak jarang mereka mendapatkan tindakkan dikucilkan oleh masyarakat, atau bahkan stress. Lain halnya kalau mereka sendiri yang mengambil keputusan untuk berhenti sekolah, kalau kejadiannya seperti itu tentu saja tidak menjadi persoalan.
Gambaran lain ada juga siswa yang tidak bisa mengikuti UN gara-gara telah menikah. Bila pihak sekolah atau dinas pendidikan mempertimbangkan atas moral dan etika pelajar, bagaimana dengan siswa atau siswi yang tersandung masalah hukum atau tindak kriminal hingga dimasukan kedalam sel/tahanan yang notabene masih diperbolehkan mengikuti UN meskipun didalam sel atau tahanan?
Tidak menutup kemungkinan mereka yang bermasalah tersebut merupakan siswa/siswi cerdas disekolahnya. Hanya saja mereka terjerumus oleh rayuan atau nafsu sesaat. Peran pendidikanlah yang seharusnya membentuk kembali watak dan memperbaiki moral siswa/siswi tersebut bukan mencabut hak pendidikannya. Jadi, sudah seharusnya sekolah ataupun dinas pendidikan dapat memfasilitasi kebutuhan peserta didik dalam melaksanakan pendidikan. Sekolah atau dinas pendidikan tidak memiliki hak untuk mencabut hak peserta didik dalam mengenyam pendidikan hingga akhir. Fungsi utama pendidikan bukan sebagai pemberi hukuman melainkan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang berrmartabat. Persoalan status menikah, kekayaan atau pun status hukum dari peserta didik jangan menjadi hambatan bagi mereka untuk memperoleh pendidikan. Lembaga pendidikanlah yang seharusnya dapat memberikan solusi agar mereka dapat keluar dari masalah tersebut dan tidak lagi mengulang masalah yang sama serta membantu menemukan arah masa depannya.
Masih memunculkan sebuah tanda tanya, secara pribadi setuju dengan adanya UN yang merupakan bagian dari proses pendidikan. Namun, sejak diberlakukannya Ujian Nasional pada tahun 2003 untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa dari sekolah memang selalu menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Meskipun mulai tahun 2012 sistem kelulusan telah dirubah dengan menurunkan persentasi menjadi nilai UN 60% dan 40% sisanya hasil dari nilai sekolah, beberapa kalangan menilai bahwa UN bukanlah solusi yang efektif untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan. Memang sangat tidak adil bila kelulusan siswa ditentukan oleh beberapa hari saat ujian saja. Lantas, sudahkah UN sekarang mencerminkan amanat Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 mengenai prinsip penyelenggaraaan pendidikan yang menyatakan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa?
kasian anak2 yang ga bisa ikut UN..
Yap, terutama pada mereka yang terjebak membuat kesalahan pada waktu yang berdekatan.
Ada wacana bahwa UN akan diganti formatnya ditahun depan, tapi biasanya cuma ganti nama aja dan bentuknya masih tetap sama 😀
Ada wacana juga bahwa UN seharusnya mengevaluasi seluruh mata pelajaran, tidak hanya sebagian. Kebayang 6 pelajaran aja pelaksanaannya kacau apalagi semua pelajaran?
Kalau saja wacana dengan mengevaluasi seluruh mata pelajaran, bisa jadi tambah berantakan 😀
Menariknya, konsep PSH disebutkan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, melainkan merupakan suatu proses berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hidup. Ide PSH ini sudah dicetuskan sejak belasan abad silam, namun sekarang terkesan tenggelam dengan hadirnya beragam konsep baru ala pemerintahan. Konsep-konsep baru tersebut memandang bahwa kualitas peserta didik akan tercapai dengan melakukan ujian akhir. Hal ini menimbulkan beberapa konsep pendidikan di Indonesia yang mulai berkiblat kepada UUD 1945 dan Pancasila, disusul dengan Surat Keputusan (SK) atau semacam kurikulum.
Pendidikan yang merupakan suatu proses berkesinambungan dan berlangsung sepanjang hidup itu mungkin lebih mengarah pada pendidikan secara global, khususnya pendidikan non formal lebih mengena rasanya.
UN telah memiliki andil meneror jutaan siswa dan menyebabkan munculnya peluang-peluang kecurangan secara sistemik, bukankah ini lebih kejam dari teroris yang pernah ada dari zaman nazi hingga sekarang…?
Kalau saja berwujud seperti itu, serem banget ya 😀
makin sini makin menekan pelajar muda masa depan, bukannya makin baik malahan membuat stress pelajar2 negeri ini…
Mudah-mudahan pihak yang berwenang segera menemukan solusi terbaiknya, amin!
kalau saya setuju di bubarkan aja UN, mempersulit kelulusan siswa, rapor rangking seperti dulu sudah cocok untuk melihat siswa berprestasi…salam
Secara pribadi setuju aja adanya UN, tapi jangan dijadikan sbg dasar kelulusan yg cukup dominan karena faktor penunjang (sarana dan prasarana) ditiap daerah berbeda-beda.Mungkin cukup 20% saja andilnya dalam kelulusan, sekedar buat evaluasi secara global peserta didik. Jadi 80% yang menentukan kelulusan itu sekolah masing2, sepertinya yg gagal UN tapi benar-benar layak lulus disekolahnya akan tetap memiliki peluang besar untuk lulus 😀
Jika karena sudah nikah atau sedang hamil kemudian dilarang untuk mengikuti ujian, rasanya kurang bijak ya. Padahal itu mungkin bukan yg diinginkan oleh yg bersangkutan…
Nah, itu dia mas yang menyedihkan. Apalagi jika kejadian yang menjadi penyebabnya itu cukup berdekatan dengan proses berlangsungnya UN.
Ujian Nasional seharusnya tidak menjadi momok, karena tergantung kesiapan dan persiapan siswa menghadapi ujian dan penguasaan materi pelajaran, komentar juga dong ke blog saya myfamilylifestyle.blogspot.com
Yap, setuju rasanya mesti seperti itu.
Insya Allah mampir, terima kasih telah singgah ya 😀
lucu jadi ada hiburan hihihi
Lucunya mengandung khawatir, mendingan menikmati komedian beneran hehe…
UN perlu diubah? saya rasa YA !
Berharap juga untuk evaluasi kembali sama yang berwenang.
Biar peserta didik tambah semangat hehe..
Setelah mengetahui faktor-faktor tersebut guru dapat memahami bahwa peserta didiknya digolongkan sebagai individu yang unik dan pilah karena peserta didik pada hakikatnya terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Terdapatnya perbedaan individual dalam diri masing-masing peserta didik membuat guru harus pandai-pandai menempatkan porsi keadilan dengan tepat pada setiap peserta didiknya. Misalnya saja dalam pelajaran fisika, tentunya tidak semua siswa berminat dalam pelajaran fisika, mungkin ada siswa berminat pada musik, lantas guru tidak harus memaksanya untuk dapat menyukai fisika apalagi memaksakan agar paham fisika lebih mendalam dengan memberikan soal dan tugas yang banyak dan sulit ditambah lagi sanksinya yang berat bila tidak dapat mengerjakan soal/tugas tersebut. Hal inilah yang nantinya menciptakan potensi buruk pada diri peserta didik sebagai hasil ketidakpuasanya terhadap lingkungan yang diterimanya.
Luar biasa nih postingannya
Di Indonesia anak2 dituntut serba bisa. bisa matematika,fisika,sejarah… padahal di dunia kerja belum tentu pelajarn tsb dipakai. dan di Indonesia lebih ditekankan adalah hasil (nilai) padahal proses untuk memperoleh nilai tsb lah yang lebih penting .
akhirnya ujian telah berlalu…
UN seharusnya ditiadakan karna sekolah selama 12tahun hanya ditentukan oleh 3hari nasib kelulusan seorang siswa untuk melanjutkan keperguruan yang lebih tinggi atau berkerja . banyak nya juga bocornya soal-soal UN
adanya UN hanya membuat pelajar terpaku untuk ujian terakhir tersebut..
tidak membuat siswa lebih mengembangkan disiplin ilmu dan kreatifitasnya..
1 kata buat peserta ujiann
belajar lah yang bener 🙂
kalau gak bener nanti kyak saya .
blepotan kuliahnya wwkwkwk 😀
Salam kenal sebelumnya
saya sutopo dari blogger jogja
mkasih
Memang terkadang UN belum tentu bisa dijadikan tolak ukur pendidikan siswa.. Malah setiap tahun semakin sulit saja rasanya, entar ada 5 format soal.. Bagaimana di tahun 2014 ini ?
sebenarnya ujian nasional memang sangat memberatkan siswa
ujian nasional hanya bisa menjadi beban buat para siswa, karena belajar 3 tahun hanya di ukur 3 hari, rasanya tidak adil
UN 1015 jadi gak yah di ulangi ?
UN seharusnya bukan indikator utama penentu kelulusan siswa
ujian nasional sangat menggetarkan siswa
Mampir berkunjung. Websitenya bagus. Thanks for share.
Iya juga sich,,,kasian yang tidak lulus…
Belajar berusaha selama hampir 3 tahun bisa gagal hanya karena beberapa hari dalam UN
Test mental…
kenapa kok sekarang di hapus
Ujian nya sih ga seberepa, preser harus lulus nya itu lho yang bikin down. Terkadang kita sudah siap dirumah tiba-tiba ngeblenk saat dikelas banyak banget hal tersebut terjadi (temen-temen sekolah dulu). Jadi ada baiknya klo salah satu persaratan lulus tidak hanyak UN yang menjadi patokan. Thks.
Bagus dan bermanfaat banget nih pembahasan artikel seputar Ujian Nasional nya