Membangun Jiwa Kepemimpinan

Kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggunganjawaban. Penguasa adalah pemimpin, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarganya, maka akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin (rumah tangga suaminya), maka akan dimintai pertanggungjawabannya. Pelayan adalah pemimpin (atas harta tuannya), maka akan dimintai pertanggungjawaban atas pengelolaannya. Oleh karena kalian adalah pemimpin, maka kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR Bukhari-Muslim)

Secara sederhana pemimpin sejati adalah mereka-mereka yang memiliki kemampuan menjelajahi hati pengikutnya. Hal itu ditandai dari kepemimpinannya yang apabila makin menempati posisi-posisi linggi, maka semakin tinggi pula kearifannya. Pemimpin semacam ini akan mampu membangkitkan kesadaran orang-orang yang dipimpinnya. Sehingga dengan kepemimpinannya akan membuat mau orang-orang yang dipimpinnya.

Adapun untuk memahami ini perlu diyakini bahwa bakat kepemimpinan itu sebenarnya tidak dilahirkan. Bakat tersebut muncul melalui keterampilan yang terus diasah dan ditumbuhkembangkan. Memang ada pemimpin yang hanya fasih berbicara. Namun sebelumnya, kalau ia tidak memiliki ilmu, ia tidak sering berlatih, maka bisa jadi kata-katanya terpeleset pada kesalahan. Begitu juga kalau ada seorang pemimpin yang berani. Kalau tidak sering-sering dilatih, maka keberaniannya suatu saat akan banyak berbuah kezaliman.

Seseorang bila disebut sebagai pemimpin cirinya dapat pula kita saksikan dari kematangan pribadi dan karyanya. Ia memiliki visi yang sangat jauh ke depan. Ia mampu menggali dan mensinergikan potensi. la iuga mampu memotivasi, bail lewat leteladanan maupun kata-katanya yang arif. Dan ini semua didapatkan melalui latihan-latihan yang memakan waktu cukup lama.

Di sini timbul pertanyaan, apa yang membedakan seorang pemimpin dengan manajer? Jawabannya adalah, pemimpin atau leader adalan orang yang bisa membangun semangat serta menumbuhkan ide dan gagasan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Jadi, selain bekerja, pemimpin itu memiliki kemampuan menjadikan orang-orangnya kaya akan ide-ide segar.

Seorang pemimpin mampu menyuruh karyawannya dengan menerapkan ide-ide orisinal yang ia telurkan, sehingga si karyawan yang disuruhnya tidak merasa disuruh. Sebaliknya, seorang manajer hanya berkemampuan mengarankan karyawan untuk bekerja dan menyelesaikan tugasnya dengan lebin baik.

Oleh sebab itu, untuk tampil menjadi seorang pemimpin, kita perlu mempunyai kesempatan menafakuri lingkungan sekitar. Pertama-tama, perlu membaca potensi diri. Setelah potensi diri dapat terbaca, baru meluaskan pengaruh dengan melihat potensi diluar diri.

Potensi-potensi ini, kalau tidak terbaca, suatu saat kelak ia akan tetap terpendam dan makin tak tergali. Padahal setiap orang di sekitar kita mempunyai pengalaman, mempunyai masa lalu. Mereka-mereka yang mempunyai pengalaman gagal di masa lalu sesungguhnya merupakan aset yang berharga. Karena, dengan bercermin dari kegagalan masa lampau, mereka akan lebih berhati-hati lagi dalam berusaha. Artinya, seorang pemimpin itu pada dasarnya adalah orang yang selalu belajar dan terus mengembangkan kemampuannya, sehingga ia menjadi contoh teladan bagi yang dipimpinnya.

Dalam hal ini, seandainya kita yang menjadi pemimpin, maka logikanya kita adalah contoh keteladanan. Orang-orang yang dipimpin akan mengikuti teladan pemimpinnya. Kalau pemimpinnya baik, rakyatnya selaku pengikut akan baik pula. Sebaliknya, kalau keteladanan pemimpinnya buruk, imbasnya ialah, rakyatnya pun ikut buruk.

Solusi setelah evaluasi mengenai kondisi kepemimpinan. Pemimpinnya harus ada kesadaran bahwa mereka adalah contoh buat rakyatnya, teladan bagi pengikutnya. Sehingga, kalau sudah merasa diri ini sebagai teladan, jangan pernah sedikit pun menyuruh orang lain sebelum menyuruh dirinya sendiri. Jangan pernah melarang orang sebelum melarang diri sendiri. Di sini berlaku, “Kabura maqtan indallahi an taquulu ma laa taf aluun“. Amat besar kemurkaan Allah buat orang yang berkata tetapi tidak mengerjakan apa yang ia katakan. Jadi seimbangkan antara kata-kata dan perbuatan.

Jika saat ini kita disanjung banyak orang, dipuji banyak khalayak, pada dasarnya itu bukan karena kecerdasan kita, juga bukan karena gelar kita. Demi Allah! itu terjadi karena Allah sendiri yang menutupi aib kita, kekurangan kita. Kalau kemudian itu dibeberkan oleh-Nya, apa jadinya diri kita ini. Mudah-mudahan solusi pertama ini menjadi kesadaran global.

Yang kedua. Sudah saatnya, program “bening hati” ini disosialisasikan pada semua pihak. Tentunya dikerjakan secara sistematis berkesinambungan. Agar semua pihak punya pemahaman bahwa kebahagiaan hidup, kesuksesan hidup itu sebenarnya didirikan diatas fondasi kemuliaan akhlak. Sebab, kemuliaan itu bukan dilihat dari kehormatan orangnya, bukan dari kedudukannya atau hartanya yang banyak, tetapi dari kualitas akhlak orangnya. Nah, kalau program ini telah membudaya, bisa membuat semua orang lebih berpikir ke arah hakikat hidup yang sebenarnya, yang pada intinya berangkat dari kebeningan hati.

Jika yang pertama adalah contoh keteladanan dan yang kedua adalah pembinaan yang sistematis dan berkesinambungan. Maka yang ketiganya, semua itu harus dipelihara dengan sistem yang kondusif. Di mana sistem ini dibangun oleh orang-orang yang telah memperhatikan hatinya. Hasilnya akan terlihat dari produk yang mereka hasilkan. Misalnya, perundangan-undangan atau peraturan yang mereka keluarkan justru membuat keadilan makin tegak. Orang enggan untuk berbuat buruk karena adilnya peraturan yang dibuat oleh orang-orang yang memiliki keteladanan perilaku yang tinggi yaitu kemuliaan akhlak. Disini keadilan tegak tanpa kebencian.

Yang Terakhir, yang patut benar-benar kita perhatikan sesudah ketiganya terpenuhi adalah membangun dengan “kekuatan ruhiyah.” Sebab dengan kekuatan ini kita punya sandaran yang teguh, kokoh dan Maha Kuat, Yaitu Allah SWT. Kita ini, Laa hawla wa laa quwwata ilia billah. Kekuatan untuk membangun ada pada kekuatan yang dititipkan Allah pada kita. Untuk itu, setiap ada Kesulitan sekecil apa pun, atau sebesar apapun, akan ringan kalau dikembalikan pada-Nya.

Dengan begitu, mudah-mudahan kita akan dibimbing-Nya untuk tahu bagaimana mendaya-gunakan amanah yang ada. Semoga kita dapat membangun kebersamaan yang menumbuhkan “kekuatan ruhiyah” tersebut. Wallahu A’lam Bishawab.

9 Responses to Membangun Jiwa Kepemimpinan

  1. kang fauz says:

    makasih,,,, bagus postingannya. besok klau ada postingan baru,,, kabari ya…. good luck selalu buat kita sebagai pemimpin 😀

  2. arik mayuda says:

    Bagaimana kalau orang yang kita pimpin lebih senior atau lebih tua dari kita
    apa yang harus kita lakukan….?

    • kips says:

      Kalau orang yang dipimpin lebih senior dalam pengalaman jadikanlah penasihat yang baik, dan jika lebih tua dari segi usianya hormatilah dan bisa jadi sebagai sesepuh yang baik pula. Mengunakan etika dan komunikasi yang baik tidak akan menurunkan derajat dan wibawa kepemimpinan, Insya Allah. Itu hanya menurut saya pribadi, jika kurang tepat mohon dimaklumi (worship)

  3. MeGha azah says:

    bagaiman jika pemimipin trsebut masih dalam tahap belajar dan jg anggotax zma
    apa yamg harus saya lakukan sbgai pemimpin trsebut…..?
    terima kasih atas jwbanx

  4. Hasan says:

    Terima kasih, akan saya coba unyuk mengamalkannya.

  5. Syarif says:

    trima kasih atas semua sarannya

  6. hendro says:

    semoga bermanfaat

  7. Arisa says:

    amin..

    numpang mampir dlu ..:)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *