Kembalinya Sang Nabi Baru Abad 21 Kepada Keyakinan Semula

Tadi malam terdengar ucapan nabi baru dalam sebuah pertemuan dengan beberapa ulama dalam berita televisi, bahwasannya ia telah menjalani sebuah kekeliruan. Didalam waktu yang sama ia mengakui bahwa ia hanyalah manusia biasa yang sama halnya seperti kita. Sebagai manusia tentunya kita pun harus maklum atas kekeliruan tersebut, tetapi alangkah lebih bijaknya jika semua diantara kita menjaga apa yang telah digariskan Al-qur’an dengan tidak melakukan atau mengambil tindakan-tindakan secara gegabah, karena bagaimanapun hal ini akan menjadi noda atau mencoreng keyakinan yang kita jalani selama ini. Sebagai orang awam tidak habis pikir, kenapa hal konyol seperti itu bisa dilakukan yang dirasakan tanpa dibarengi dengan rasio yang sehat dan tepat.

Konon, Sistem rekruitmen AI-Qiyadah Al-lslamiyah mengandal kekuatan dana. Siapa yang bisa merekrut 40 orang, ia diberi hadiah kendaraan roda dua. Kalau bisa merekrut 70 orang, diberi kendaraan roda empat. Sungguh fantastis.

Nabi baru abad 21. Itulah klaim Ahmad Mushaddeq pimpinan Al-Qiyadah Al-lslamiyah yang mengaku diutus ke bumi menggantikan Nabi Muhammad SAW. Tak hanya itu, Mushaddeq menetapkan doktrin baru. Pengikutnya tak diwajibkan sholat lima waktu, puasa, membayar zakat, dan naik haji.

Langkah Mushaddeq jelas mengundang kontroversi. Majelis Ulama Indonesia dan Kejaksaan Tinggi Jakarta memvonisnya sebagai aliran menyesatkan. Penolakan muncul di sejumlah daerah. Bukan hanya polisi, sweeping atas pengikut Al-Qiyadah juga dilakukan organisasi masyarakat dan warga. Dua hari lalu, Ahmad Mushaddeq bersama enam pengikutnya menyerahkan diri. Selain menyerahkan buku karangannya, nabi baru ini mengklaim punya lebih dari 40 ribu pengikut yang tersebar di sembilan kota. Pria yang tercatat pernah menjadi pengurus Persatuan Bulutangkis Indonesia ini mengaku mendapat wahyu di Gunung Bundar, Bogor, Jabar, enam tahun lalu. Kini Mushaddeq harus menghadapi tuduhan penodaan agama.

Sebenarnya, tiga agama samawi saling menyempurnakan. Nabi Musa datang dengan membawa risalah kitab Taurat ditengah-tengah kaum Yahudi. Seribu depalan ratus tahun kemudian, ajaran Musa ini disempurnakan oleh Nabi Isa dengan membawa kitab Injil untuk kaum Nasrani. Tak kurang dari enam ratus tahun kemudian, ajaran keduanya disempurnakan oleh Muhammad SAW, ditengah-tengah suku Quraisy yang menjadi cikal bakal penyebutan agama umat Islam. Namun tertanggal 23 Juli 2006 lalu, atau kurang lebih dari seribu empat ratus tahun setelah Nabi Muhammad wafat, bukan berarti wahyu dari Allah telah berhenti. Di penanggalan itu, Ahmad Moshaddeq, pria berusia 53 tahun, mengikrar dirinya mendapat “wahyu” dari Allah. Isi wahyu itu, Ahmad Moshaddeq yakin, ia sedang mengemban risalah untuk menyempurnakan ketiga Rasul diatas.

Jika Nabi Muhhammad SAW mendapat risalah Al-Quran dari Gua Hira di Mekkah sana, lain halnya dengan “Nabi” Ahmad Moshaddeq. Dari sebuah mimpi ia mendapat “wahyu” setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Kecamatan Cibungbulang, atau 20 kilometer dari Kabupten Bogor, Jawa Barat.

Dari sinilah ia mendirikan Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Ajaran ini meyakini bahwa masa sekarang adalah masa awal sebagaimana halnya kedatangan Islam. Karena di masa awal mendapat “wahyu” inilah yang mendorong Ahmad Moshaddeq tak mewajibkan puasa dan haji. Sekalipun shalat lima waktu tidak ditunaikan, ia malah mewajibkan shalat hanya sekali yaitu shalat tahajud (shalat malam) saja. Tetapi bacaan ayat dalam shalatnya harus satu juzz. Adapun zakat, ia juga mewajibkan harus dibayar sebanyak 10 persen dari penghasilan.

Pedoman lain Ahmad Mushoddeq juga menitahkan sejumlah ajaran, mirip dengan The Ten Recomend of The God. Seperti, tidak boleh durhaka terhadap orang tua, berzinah, berbohong, mencuri, dan pantang menggugurkan kandungan. Dalam “wahyu” yang ia terima dari Jibril, “dakwah”-nya ditempuh sebagaimana yang diterapkan oleh Nabi Muhammad. Yakni, ada fase Sirron. (sembunyi-sembunyi), Jahron (terang-terangan), Hijrah (pindah), Qital (perang), Futuh (revolusi kota Mekkah), dan terbentuknya Khilafah (kepemimpinan Islam).

Pada fase Sirron ini, yang ia wajibkan pertama kali adalah “beriman”, sebagaimana pada fase Mekkah di zaman Nabi Muhammad. Mereka yang “beriman” pertama kali dengan Ahmad Moshaddeq adalah istrinya sendiri, Hj Dra. Waginem. Selanjutnya, bagi mereka yang mengikuti ajarannya harus dibaiat terlebih dulu, disertai dengan mengucapkan dua kalimah syahadat versinya sang “Nabi” dari Gunung Sari ini. Kalimat pertama berupa pengakuan kepada Allah. Tapi pada kaiimat kedua, bukan pengakuan kepada Nabi Muhammad, melainkan kepada Ahmad Moshaddeq sebagai Rasul. Mereka yang tidak berbait kepada Ahmad Moshaddeq, dianggap musyriq.

Kalau sudah bersyahadat, kontan saja harus taat. Jika tidak, bukan saja dianggap berdosa dan dikeluarkan dari jemaah, tak menutup kemungkinan akan dibunuh, karena fase Qital juga berlaku pada fase Jahron ini. Tapi uniknya, kalau Jemaatnya

merasa berdosa, ajaran ini mengenal penebusan dosa. Mereka yang minta dosanya dihapus, harus menebusnya dengan menyerahkan uang kepada sang “Nabi”. Memangnya siapa sih dia ini?

Nama asli Ahmad Moshaddeq adalah Haji Abdussalam. la belajar Al-Quran sejak tahun 2001 lalu secara otodidak. Sebelum jadi “Nabi”, Ahmad Moshaddeq adalah mantan pelatih bulu tangkis di era tahun 1970-an. Bahkan ia tercatat sebagai

Pengurus Besar Persatuan Bulu tangkis Seluruh Indonesia 1971-1992. Di Pemda DKI Jakarta, Ahmad Moshaddeq tercatat sebagai mantan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Dinas Olahraga. Istrinya, sebelum mengikuti ajaran sang suami, berprofesi sebagai Kepala Sekolah Al Azhar di Kemang, Jakarta Selatan. Dua pasangan ini sudah menikah 40 tahun lalu. Sekarang ini mereka menetap di bilangan Kelurahan Tanah Bam, Kecamatan Beji, Depok, Jawa Barat.

Di mata sang istri, Ahmad Moshaddeq adalah sosok manusia sempurna, tanpa cacat. Berdasarkan penelisikan ketua tim investigasi Mill, Utang Ranuwijaya, meskipun profil lengkap Ahmad Moshaddeq masih terus digali, sosok “Nabi” memang merupakan tipe yang luwes. la tidak saja berlaku sopan dan ramah, tapi juga antusias dengan keluhan orang lain. Tetapi dibalik penampilan seperti inilah, menurut Utang, masyarakat yang terbelit secara ekonomi dan mengalami kesulitan lainnya menjadi simpatik hingga bersedia berbaiat. “Rekrutmen yang mereka tempuh sangat rapi dan rahasia, “imbuh Utang yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan Mill Pusat.

Berdasarkan informasi di lapangan, kata Utang, selain pengaruh karismatis sang “Nabi”, sistem rekruitmen Al-Qiyadah Al-lslamiyah, tak lepas mengandal kekuatan dana, Mereka yang bisa merekrut 40 orang, diberi hadiah kendaraan roda dua. Kalau bisa merekrut 70 orang, diberi kendaraan roda empat. “Jadi fantastis sekali,” ujar Utang disela-sela konfrensi pers di Masjid Istiqlal saat Ma’ruf Amin, Ketua MUI Pusat, membacakan fatwa sesat aliran ini, 4 Oktober lalu.

Lantas dari mana duitnya? Utang, Ma’ruf Amin, dan sejumlah pengurus MUI Pusat lain, tak tahu pasti. Tetapi pastinya, sebelum membentuk Al-Qiyadah Al-lslamiyah, Ahmad Moshaddeq turut mendirikan KW-9 Negara Islam Indonesia (NII). Ia mengagumi NII karena faktor disipin kelompok tersebut. Bahkan baginya, sang pelopor NII, Kartosuwiryo, maqomnya setara dengan “Nabi”. Tapi setelah 10 tahun di NII, Ahmad Moshaddeq merasa tak puas, hingga akhirnya ia keluar.

Belum sampai pada langkah dakwah Jahron, Ahmad Moshaddeg bertandang ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya, Senin malam pekan lalu. la menyerahkan diri setelah mendapat reaksi keras dari massa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *